Al-Syekh Abdul Qadir Al- Jilany Ra
==========================
Nama
lengkapnya adalah Abu Shalih Sayyidi Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir
bin Abi Shalih Musa (Zonki Dost) bin Abu Abdullah Al-Jily bin Yahya
az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa al-Jun bin Abdullah al-Mahdhi
bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Al –
Syekh Abu Muhammad Abdul Qadir Al – Jailany adalah keturunan Sayyidina
Hasan , cucu Rasulullah dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib; kakeknya
adalah Abi Abdillah Al – Shuma’I yang berasal dari daerah Jilan, Persia (
Iran ) dan populer dengan karomah dan kemuliaannya. Adapun ibundanya
adalah seorang ibu yang dan istimewa, yaitu Fatimah binti Abi Abdillah
Al – Shuma’i; ibundanya juga memiliki karomah dan kemuliaan; keturunan
Sayyidina Husein.
Jauh sebelum Syekh Abdul Qadir lahir; ayahandanya
bermimpi bertemu Rasulullah saw bersama sejumlah sahabat,para Mujahidin,
dan Para Wali. Dalam mimpi itu, Rasulullah saw bersabda :
“Wahai
Abu Shalih, Allah swt akan memberi amanah seorang anak laki-laki, yang
kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian. Sebagaimana aku
mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan.”
Abu Shalih wafat saat putranya masih teramat muda, sehingga Syekh Abdul Qadir diasuh dan dibesarkan oleh kakeknya.
Syekh
Abdul Qadir lahir pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 471 H ( 1051 M )
di daerah Jilan. Di daerah itu beliau melewati masa kecilnya sampai
usia 18 tahun. Kemtdian pergi ke Baghdad pada tahun 488 H sampai masa
akhir hayatnya. Syekh Abdul Qadir berperawakan kurus, tingginya sedang,
berdada bidang dengan janggut lebat dan panjang.
Warna kulitnya sawo
matang, kedua alisnya bersambung, suaranya keras dan lantang, mudah
bergaul, punya derajat mulia dan ilmu pengetahuan luas.
Binar mata
Syeikh Abdul Qadir Ra terpancar dalam lingkungan yang terkenal dengan
ilmu pengetahuannya serta didukung dengan berbagai karomah. Ayahandanya
adalah salah seorang tokoh ulama Jilan, sedangkan ibundanya yang juga
dikenal dengan karomahnya adalah putri dari Abdullah Al – suma’i,
seorang ahli Makrifat, ahli ibadah dan zuhud. Maka bersemilah nuansa
keilmuan, fiqih, hakikat dan makrifat didalam dirinya.
Masa kanak-kanak dan remaja.
Ibunda Syekh Abdul Qadir bercerita :
”Semenjak
aku melahirkan anakku itu, ia tidak pernah menetek pada siang bulan
ramadhan. Suatu kali, lantaran hari berawan, orang-orang tidak bisa
melihat bulan sabit guna menentukan telah masuknya bulan Ramadhan. Lalu
mereka mendatangiku dan bertanya tentang Abdul Qadir, karena mereka tahu
bahwa anakku itu tidak pernah menetek di siang bulan Ramadhan. Aku
katakan kepada mereka bahwa abdul Qadir siang itu tidak menetek. Maka
mereka pun tahu bahwa hari itu adalah awal Ramadhan. Sejak itu, beliau
menjadi terkenal sebagai keturunan orang-orang terhormat (mulia), yang
salah satu tandanya adalah beliau tidak mau menetek kepada ibunya pada
siang bulan Ramadhan.”
Syekh Abdul Qadir bercerita :
“Ketika
masih kecil, setiap hari aku di kunjungi seorang malaikat dalam bentuk
seorang pemuda tampan. Dia berjalan bersamaku dari rumah kami ke sekolah
dan membuat anak-anak di dalam kelas memberiku tempat di barisan
pertama. Dia tinggal bersamaku sepanjang hari dan kemudian membawaku
pulang ke rumah. Dalam sehari, aku belajar lebih banyak daripada
pelajar-pelajar yang lain belajar dalam satu minggu. Aku tidak tahu
siapa dia. Suatu hari aku bertanya kepadanya, dan dia berkata, “aku
salah satu malaikat Allah swt. Dia mengirim dan memerintahkanku selama
engkau belajar.”
Suatu hari, malam I’dul Adha, Aku pergi ke ladang
kami untuk menggarap tanah. Selama aku berjalan di belakang lembu
jantan, dia memalingkan kepalanya dan melihatku, seraya berkata:
“Engkau tidak diciptakan untuk ini!”
Aku
sangat ketakutan dan berlari ke rumah dan memanjat ke atap rumah petak
bertingkat. Ketika mengintai keluar, aku melihat para jama’ah haji
berkumpul di padang Arafah tepat di depanku.
Aku pergi ke ibuku, yang waktu itu sudah janda, dan meminta kepadanya:
“Kirimlah
aku ke jalan kebenaran, berilah aku ijin untuk pergi ke Baghdad, untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan bersama-sama dengan orang bijak dan
orang-orang yang dekat kepada Allah swt.”
Ibuku bertanya kepadaku,
”Apa alasan untuk permintaan yang tiba-tiba tersebut?”
Aku
mengatakan kepadanya apa yang terjadi pada diriku. Dia menangis; tetapi
mengeluarkan delapan puluh batang emas, semua adalah warisan ayahku.
Dia menyisakan empat puluh untuk saudara laki-lakiku. Empat puluh batang
lainnya, dia jahit kebagian ketiak mantelku. Kemudian dia mengizinkan
diriku untuk meninggalkan dirinya, tetapi sebelum ibuku membiarkan aku
pergi, beliau meminta diriku berjanji kepadanya, bahwa aku akan berkata
benar dan menjadi orang yang jujur, apapun yang terjadi. Ibu melepaskan
kepergianku dengan kata-kata:”Mudah-mudahan Allah melindungi dan
membimbingmu, anakku. Aku memisahkan diriku dari orang yang paling
mencintaiku karena Allah swt. Aku tahu bahwa aku tidak akan dapat
melihatmu sampai hari pengadilan terakhir.”
Aku bergabung dengan
sebuah kafilah kecil yang sedang pergi ke Baghdad. Ketika telah
meninggalkan kota Hamadan; sekelompok perampok jalanan berjumlah enam
puluh orang dengan menunggang kuda menyerang kami. Mereka mengambil
segala sesuatu yang setiap orang miliki. Salah seorang di antara mereka
datang kepadaku dan bertanya,:
Anak muda, harta apa yang kamu miliki?”
Aku menceritakan kepadanya, bahwa aku mamiliki empat puluh batang emas. Dia bertanya :
”dimana?”
Aku mengatakan :
“Di bawah lenganku.”
Dia
tertawa dan meninggalkanku sendiri. Perampok lainnya datang dan
bertanya hal yang sama, dan aku berkata hal yang sebenarnya. Mereka
meninggalkanku sendirian dan melaporkan kepada pemimpin mereka. Lalu
pemimpin perampok memanggilku ke tempat dimana mereka sedang membagi
hasil rampasan. Dia bertanya apakah aku memiliki sesuatu barang
berharga. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh batang
emas yang dijahit di mantelku dibawah ketiak. Dia mengambil mantelku,
merobek bagian lengan mantel dan menemukan emas tersebut. Kemudian
dengan rasa takjub, dia menanyaiku:
”Ketika uangmu telah aman, apa yang memaksamu untuk menceritakan kepada kami bahwa kamu memiliki emas dan dimana disembunyikan?”
Aku menjawab,” Aku harus mengatakan sebenarnya dalam keadaan apapun, sebagaimana telah ku janjikan kepada ibuku.”
Ketika pemimpin perampok mendengar hal itu, dia menitikkan air mata dan berkata:
” Aku telah mengingkari janjiku kepada siapa yang telah menciptakanku. Aku mencuri dan membunuh. Apa yang terjadi padaku?”
Dan anak buahnya memandangnya, sambil berkata,
”Engkau
telah menjadi pemimpin kami selama bertahun-tahun dalam perbuatan dosa.
Sekarang juga menjadi pemimpin dalam penyesalan!”
Semua enam puluh
orang memegang tanganku dan menyatakan menyesal serta mengubah jalan
hidup mereka. Keenam puluh orang itu adalah orang yang pertama memegang
tanganku dan mendapatkan keampunan untuk dosa-dosa mereka.
Syekh Abdul Qadir di Baghdad
Ketika
Syekh Abdul Qadir Al-Jailany Ra tiba di Baghdad, beliau berusia 18
tahun. Ketika beliau mencapai pintu gerbang kota, Nabi Khidir muncul dan
menghalanginya untuk memasuki pintu gerbang kota. Nabi Khidir berkata
kepadanya bahwa hal itu adalah perintah Allah untuk tidak memasuki kota
Baghdad selama tujuh tahun yang akan datang.
Nabi Khidir membawanya
ke sebuah reruntuhan di gurun pasir dan berkata:”Tinggallah disini dan
jangan meninggalkan tempat ini.” Syekh Abdul Qadir tinggal disana selama
tiga tahun. Setiap tahun, Nabi Khidir akan muncul kepadanya dan berkata
kepadanya dimana beliau harus tinggal.
Syekh Abdul Qadir Al-jailany Ra bercerita mengenai masa tiga tahun yang di alaminya :
“Selama
aku tinggal di gurun, diluar kota Baghdad; semua keindahan duniawi
dating menggodaku. Allah melindungiku dari gangguan mereka. Setan yang
muncul dalam wujud dan bentuk berbeda-beda terus mendatangiku,
menggodaku, mengacaukanku dan melawanku. Allah telah memberikanku
kemenangan atasnya. Nafsuku mengunjungiku setiap hari dalam wujud dan
bentukku sendiri, memintaku untuk menjadi temannya. Ketika Aku akan
menolaknya, ia hendak menyerangku. Allah memberiku kemenangan dalam
perlawanan dengan nafsuku. Pada waktunya aku dapat menjadikannya
tawananku dan menahannya bersamaku selama tahun-tahun itu, memaksanya
tinggal di reruntuhan gunung pasir. Satu tahun penuh aku telah memakan
rumput-rumputan dan akar-akaran yang dapat kutemukan dan tidak meminum
air apapun. Tahun yang lain, aku telah minum air tetapi tidak makan
sebutirpun makanan. Tahun lainnya, aku tidak makan, minum ataupun tidur.
Sepanjang waktu ini, aku hidup dalam reruntuhan dari raja-raja kuno
Parsia di Karkh. Aku berjalan dengan kaki telanjang di atas duri dan
onak padang pasir dan tidak merasakan suatu apapun. Kapan saja aku
melihat sebuah jurang ( karang yang terjal ) aku memanjatnya; aku tidak
memberikan istirahat satu menitpun atau menyenangkan nafsuku, kepada
keinginan-keinginan rendah jasmaniku.
Pada akhir dari masa tujuh tahun itu, aku mendengar sebuah suara pada suatu hari :
”Wahai Abdul Qadir, engkau sekarang diizinkan memasuki Baghdad.”
Aku
sampai di Baghdad dan melewatkan beberapa hari disana. Segera aku tidak
dapat berada dalam keadaan dimana hasutan, kejahatan, tipu daya telah
mendominasi kota. Untuk menyelamatkan diriku sendiri dari kejahatan kota
yang mengalami kemerosotan moral dan menyelamatkan keimananku, aku
meninggalkannya. Hanya al-Qur’an yang kubawa bersamaku. Ketika tiba di
pintu gerbang, dalam perjalanan untuk berkhalwat ku di padang pasir, aku
mendengar sebuah suara:
”Kemana engkau akan pergi?” kata suara itu.
”Kembali. Engkau harus melayani orang-orang.”
“Apa yang dapat kupedulikan mengenai orang-orang?” Aku menyanggah. “Aku ingin menyelamatkan keimananku!”
“Kembalilah
dan jangan pernah merasa khawatir terhadap keimananmu” suara itu
melanjutkan, “Tidak ada sesuatupun yang akan membahayakanmu.”
Aku tidak dapat melihat siapa orang yang berkata tersebut.
Kemudian
sesuatu terjadi padaku. Terputus dari kondisi luar, aku masuk dalam
keadaan tafakur. Sampai hari berikutnya, aku memusatkan pikiran pada
sebuah harapan dan berdo’a kepada Allah swt agar dia membukakan selubung
untukku, sehingga tahu apa yang harus kulakukan.
Hari berikutnya,
ketika tengah berkeliling di sebuah pemukiman bernama Mudzaffariyyah,
seorang lelaki yang aku tidak pernah kulihat membuka pintu rumahnya dan
menyilahkan aku masuk,
“Mari Abdul Qadir!”
ketika aku sampai di pintunya, dia berkata,
”Katakan kepadaku, apa yang anda harapkan dari Allah? Do’a apa yang anda panjatkan kemarin?”
Aku
ketakutan, dengan penuh ketakjuban. Aku tidak dapat menemukan kata-kata
untuk menjawabnya. Laki-laki tersebut memandang ke wajahku dan
mengempaskan pintu dengan kasar seperti itu, debu berkumpul di
sekelilingku dan menutupi seluruh tubuhku. Aku berjalan pergi, sambil
bertanya apa yang telah kuminta kepada Allah sehari sebelumnya. Kemudian
aku teringat. Aku balik kembali untuk mengatakan kepada laki-laki
tersebut, tetapi tidak dapat menemukan baik rumah ataupun dirinya. Aku
sangat khawatur, ketika menyadari bahwa dia adalah seorang yang dekat
kepada Allah. Sesungguhnya, belakangan aku mengetahui, dia adalah Hammad
ad-Dabbas, yang telah menjadi Syekh ( guru) ku.
Pada suatu malam
yang dingin dan gerimis, sebuah tangan tak terlihat membawa Syekh Abdul
Qadir kepada tekke, tempat bermalam mistis, milik Syekh Hammad bin
Muslim ad- Dabbas. Syekh Hammad yang mengetahui dengan inspirasi Ilahiah
tentang kedatangannya, menutup pintu-pintu tempat menginap ( mistis )
dan memadamkan lampu. Ketika Syekh Abdul Qadir duduk di bendul ( ambang
)pintu yang terkunci, beliau tertidur. Beliau telah mengeluarkan sperma (
mimpi basah )di malam hari dan pergi mandi di sungai dan mengambil air
wudhu. Beliau tertidur lagi dan hal yang sama terjadi tujuh kali pada
malam itu. Setiap kali beliau mandi dan mengambil air wudhu dalam air
sedingin es. Pagi harinya, pintu gerbang telah terbuka dan beliau
memasuki tempat penginapan sufi. Syekh Hammad berdiri menyambutnya.
Meneteskan air mata gembira, dia memeluknya dan berkata:
”Wahai
putraku Abdul Qadir, keberuntungan adalah milik kami hari ini, tetapi
besok hal itu menjadi milikmu. Jangan pernah meninggalkan jalan ini.”
Syekh
Hammad menjadi guru pertamanya dalam ilmu pengetahuan tentang mistisme.
Dengan memegang tangannya, beliau mengucapkan sumpah dan mengikuti
jalan sufi.
Syekh Abdul qadir memahami bahwa menuntut ilmu itu
diwajibkan bagi setiap muslimin dan muslimah. Lantas dengan keseriusan
dan kesungguhan, berangkatlah beliau menuntut ilmu ke para tokoh Ulama
yang selalu membimbingnya. Beliau memulai masa pendidikannya dengan
belajar mambaca Al-qur’an kepada Abu Al-Wafa bin Aqil Al-Hambali, Abu
Al-Khitab Mahfudz Al-Kalwadany Al-Hambali dan masih banyak lagi yang
lainnya, sampai fasih dalam pembacaannya.
Beliau belajar hadits dari
para ulama ahli hadits di zamannya seperti Abu Ghalib Muhammad bin Hasan
Al-Balakilany dan yang lainnya. Beliau juga belajar ilmu Fiqih dari
para fuqaha yang masyhur di zamannya, seperti Abu Sa’id Al-Mukharrimi.
Selanjutnya beliau belajar ilmu bahasa dan sastra kepada Abu Zakaria
Yahya bin Ali Al-Tibrizi. Akhirnya, beliau mendalami berbagai disiplin
ilmu pengetahuan dengan pemahaman yang mendalam : ilmu syari’at,
tarekat, bahasa dan sastra; sehingga beliau menjadi pemimpin dan guru
besar mazhab Hambali. Allah swt memberikan hikmah dengan perantaraan
lisannya yang memberikan wejangan dalam berbagai majelisnya.
Walaupun
Syekh Abdul Qadir belajar sufi kepada Syekh Hammad ad-Dabbas, tapi yang
memberikan jubah darwis ( symbol dari jubah Rasulullah ) adalah Abu
Sa’ad Al Mubarak bin Ali Al-Mukharrimi, ulama terbesar pada zamannya di
Baghdad, pemilik madrasah di Babulijadz, yang kemudian diserahkan kepada
Syekh Abdul Qadir.
Syekh Ja’far bin Hasan Al-Barzanji ( penyusun maulid Barzanji ) menulis :
Guru-guru Ilmu Fiqih Syeikh Abul Qadir :
• Abu wafa ali bin Aqiel
• Abu Khatab Al-Kalwadzani
• Muhammad bin Abu Ya’la
• Syekh Abu Sa’ad Al-Mubarak bin Muharrimi Al-Baghdadi ( guru besar Mazhab Hanafi )
• Syekh Abu Khattab Mahfudz bin Ahmad bin Hasan Al-Iraqi
Guru-guru Bahasa dan Sastra beliau :
• Syeikh At-Tibrisi
• Abu Zakarya Yahya bin Ali bin Muhammad bin Hasan Bustam As-Syaiban Al-Khotib At-Tibrizi
Guru tasawuf beliau :
• Syekh Abi Khair Hammad bin Muslim Ad-Dabbas
• Belajar di Madrasah Nizamiyah, pimpinan Imam Ghazali.
Guru-guru ilmu hadits beliau :
• Abu Muhammad bin Ja’far bin Ahmad bin Hasan Al-Baghdadi
• Abu Ghalib Muhammad bin Hasan bin Ahmad bib Hasan bin Khadzadadza Al-Baqilani
• Syekh Abu shadiq Abu Saad Muhammad bin Abdul Karim bin Kusyasyi Al-Baghdadi
• Syekh Abu Bakar Ahmad bin Muzaffar bin Husein bin Abdullah At-Tammar
• Syekh Abulqasim Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Bayan bin Razzaz
• Syekh Abu Thalib Abdulqadir bin Muhammad bin Abdulqadir bin Yusuf Al-Baghdadi Al-Yusufi, Syekh Abu Barakat
Syekh Ja’far bin Hasan Al-Barzanji berkata :
“Syekh
Abdul Qadir menguasai 13 ilmu pengetahuan. Dalam berfatwa beliau selalu
menggunakan dua Mazhab, yaitu Mazhab Syafi’i dan Hambali. Beliau memang
terkenal sebagai fuqaha yang sangat menguasai ilmu fiqih”
Syekh Abdul Qadir bercerita :
Pada suatu pagi aku melihat Rasulullah saw. Beliau bertanya kepadaku:
”Mengapa engkau tidak bicara?”
Aku menjawab:
Aku tiada lain adalah seorang Persia, bagaimana Aku bisa berbicara dengan bahasa arab yang indah dari Baghdad ?”
“Buka mulutmu” beliau berkata, dan kulakukan perintahnya.
Rasulullah lantas meniupkan nafasnya ke mulutku tujuh kali dan berkata:
“Pergilah, tunjukkan kepada umat manusia dan ajaklah mereka kepada jalan Allah swt dengan bijak dan kata-kata indah.
Kemudian
Aku bertemu Imam Ali bin Abi Thalib dan memintaku untuk membuka
mulutku, kemudian meniupkan nafasnya sendiri ke dalam mulutku sebanyak
enam kali. Aku bertanya:
”mengapa anda tidak melakukannya tujuh kali seperti yang dilakukan Rasulullah saw?”
Beliau menjawab:
“karena rasa hormatku kepadanya.” kemudian beliau menghilang.
Beliau
memberikan wejangan pada bulan syawal tahun 521 H di Madrasah Abu Sa’id
Al-Mukhorrimi, daerah Babulijaz, Baghdad. Beliau menyuarakan secara
lantang semangat zuhud. Madarasah tersebut dipadati jama’ah sampai
beliau dipindahkan ke sebuah Musholla diluar Baghdad. Jama’ah yang hadir
pada saat itu sangat banyak, sekitar 70 000 orang. Murid-murid yang
berguru kepadanya semakin banyak, dari kalangan ahli Fiqih, ahli Hadits,
para Ulama serta ahli Sufi yang memiliki derajat keistimewaan dan
kemuliaan.
Beliau telah menyusun banyak karya dalam bidang ushul fiqih, tasawuf dan hakikat. Di antara karya-karyanya adalah :
1. Ighatsah Al-Arifin wa Ghayah Muna Al-Washilin ( Pertolongan untuk ahli Makrifat dan tujuan ideal para ahli Makrifat ).
2. Awrad Al-Jailany wa @d’itatih ( beberapa wirid dan doa-doa Syekh Abdul Qadir Al-Jailany )
3. Adab Al-Suluk wa Al-Tawashul ila Manazil Al-Muluk ( adab penempuhan Ruhani menuju kerajaan ilahi )
4. Tuhfat Al-Muttaqin wa Sabil Al-Arifin ( persembahan orang-orang bertaqwa dan jalan para ahli Makrifat )
5. Jala’ Al-Khathir fi Al-Bathin wa Al-zhahir ( penampakan hati tentang yang batin dan zhahir )
6. Risalah Al-Ghautsiyah ( Risalah Wali Ghauts – tingkatan wali dibawah kedudukan nabi SAW )
7. Risalah fi Al-Asma’ Al-Azhim li Al-Thariq ila Allah ( Risalah tentang beberapa nama Allah guna menuju kepadanya )
8. Al-Gunyah li Al-Thalib Al-Haqq ( Rasa kecukupan bagi para pencari Al-Haq ).
9. Al-Fathur Rabbani wal Faydur Rahmani
10. Sittin Majalis
11. Hizbul Raja’ul Intiha
12. Al-hizbul Kabir
13. Ad-Du’aul Awrad Al-fatihah
14. Ad-Du’a al-Basmalah
15. Al-Fuyudath Rabbaniyyah
16. Mi’raj Latif al-Ma’ani
17. Yawaqit Hikam Sirul Asrar
Masa
Syekh Abdul Qadir Al-Jailany yaitu abad ke 5 H, adalah masa yang
masyhur dengan cakrawala ilmu pengetahuan dan maju dalam bidang sastra.
Pada masa itu muncul para ulama besar dan para penulis yang handal
seperti : Abu Ishaq Al-Syairazy, Al-Ghazali, Abu Wafa bin Aqil, Abdul
Qadir Al-Jurjany, Abu Zakaria Al-Tabrizy, Abu Qasim Al-Hariry,
Al-Zamahsary dll. Mereka itulah yang memenuhi abad tersebut dengan
menguasai berbagai aspek rasionalitas dan berbagai orientasi. Mereka
juga adalah para tokoh sastra dan intelektual. Tidak seorangpun pada
masa tersebut yang bisa mewarnai masyarakatnya, kecuali harus terjun
kedalam gelanggang ilmu pengetahuan yang merupakan kehidupan ilmiah dan
berbagai sumber disiplin ilmu pengetahuan. Diberbagai daerah penuh
dengan tempat belajar dan halaqah pembelajaran seperti kota Baghdad.
Dalam
masyarakat berperadaban waktu itu tidak ada seorangpun yang terkenal
dan memiliki pengaruh amat luas, kecuali seorang ulama yang sangat
tinggi wawasan ilmu pengeetahuannya, kapabel dalam ilmu keagamaan dan
ilmu keduniawian, bahkan para ulama selanjutnya mengakui keistimewaan
tersebut dan mengklaim dia sebagai seorang ulama yang paling luas
wawasan intelektualnya.
Akhlak mulia Syekh Abdul Qadir Al-Jailany Ra.
Syekh
Abdul Qadir Al-Jailany Ra memiliki sifat-sifat yang terpuji dan juga
mempunyai peninggalan karya ilmiah yang banyak, bahkan secara mutawatir
dikenal karena berbagai daya dan karomah yang beliau miliki.
Beliau
selalu berpakaian khas Ulama, berselendang ( serban), menunggang
keledai, berbicara di atas kursi yang tinggi. Terkadang beliau berjalan
beberapa langkah di udara di atas kepala orang-orang yang hadir, lalu
kembali ke kursinya. Beliau pernah berkata :
“Aku pernah melewati
hari-hariku tanpa makan sama sekali. Ketika itu datang seseorang
membawa sebuah wadah yang ternyata berisi sejumlah dirham dan makanan di
atasnya. Aku pun mengambil sekerat roti, lalu duduk menyantapnya.”
Namun tiba-tiba di hadapanku ada secarik kertas yang bertuliskan :
“Allah
swt mengatakan didalam sebagian kitab yang diturunkannya bahwa Nafsu
Makan itu hanya dijadikan bagi makhluk-makhluk yang lemah agar mereka
sanggup(bertenaga) untuk melaksanakan ketaatan kepada Ku. Sedangkan bagi
mereka yang kuat, maka nafsu makan itu tidak perlu bagi mereka. Membaca
tulisan itu, aku segera meninggalkan makanan itu, lantas pergi.”
Suatu kali beliau bercerita tentang dirinya :
”Pada
awal-awal kehidupanku, aku mengalami masa-masa sulit, namun aku hadapi
dengan tabah. Kala itu, aku berpakaian dari bulu binatang, bertutup
kepala dari kain jelek, dan berjalan kaki di atas duri dan onak jalanan
lainnya. Yang aku makan hanya belalang, sisa-sisa sayuran dan daun-daun
muda di pinggiran sungai. Aku suka pura-pura tuli dan pura-pura gila,
kalau sedang berada di tengah-tengah manusia. Masa-masa pahit itu
berlangsung selama beberapa tahun hingga akhirnya Allah swt merubah
keadaanku.”
Pernah ada orang bertanya kepadanya :
”Bagaimana cara membebaskan diri dari ‘Ujub ( merasa bangga terhadap diri sendiri )?”
Beliau menjawab :
”Pandanglah
segala sesuatu sebagai pemberian Allah swt, ingatlah bahwa Dia lah yang
memberikan taufiq kepada kita sehingga dapat melakukan kebaikan, dan
buanglah perasaan bahwa kita telah berbuat sesuatu. Kalau sudah
demikian, niscaya kita akan selamat dari penyakit tersebut.”
Dan sewaktu ada yang bertanya kepadanya :
”Mengapa kami tidak pernah melihat lalat hinggap di bajumu?”
Beliau menjawab :
”Memangnya apa yang mau diambilnya dariku, sedangkan manisan Dunia dan madu Akhirat tidak ada padaku sedikitpun.”
Suatu
kali, terdengar suara jeritan seseorang dari dalam kuburnya dan suara
itu mengganggu orang-orang yang lewat disana. Lalu orang-orang
melaporkan kejadian tersebut kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailany. Beliau
berkata :
”Sungguh orang itu pernah melihatku sekali. Sekarang pastilah Allah merahmatinya lantaran pernah melihatku.”
Pernah
suatu hari Syekh Abdul Qadir berwudhu, lalu air wudhunya itu jatuh
membasahi seekor burung pipit. Burung itu diperhatikannya terbang, lalu
jatuh dan mati. Melihat kejadian itu, beliau langsung mencuci bajunya
lalu menjualnya, dan uang hasil penjualan itu beliau sedekahkan; seraya
berkata :
“Burung itu mati lantaran air wudhukku.”
Syekh Izzudin bin Abdul Salam berkata :
”Tidak
kami temukan transmisi ( naqal al-akhbar ) secara mutawatir mengenai
karomah para wali seperti karomah Syekh Abdul Qadir Al-Jailany Ra”.
Demikian juga dikatakan oleh Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah :
“Semua
Ulama dan para wali di zamannya menghormati Syekh Abdul Qadir
Al-Jailany. Dalam Ilmu Fiqih, beliau melebihi Ulama segenerasi
dengannya, bahkan para tokoh wali juga sangat mematuhinya; beliau diakui
oleh semua kalangan Ulama dan wali. Semuanya mengangkatnya sebagai
pemuka mereka; maka jelaslah bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailany adalah
pemimpin para wali”.
Mufasir Ibnu Katsir berkata :
“Syekh
Abdul Qadir sebagai Ulama yang tangguh dalam amar ma’ruf nahi munkar,
menjalani kehidupan zuhud dan wara’, serta sufi yang sangat disegani.”
Syekh
Abdul Qadir Al-jailany Ra juga memberikan fatwa dengan Mazhab Imam
Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ulama-ulama di Iraq sangat kagum
terhadap fatwa-fatwanya, sampai mereka berkata :
”Maha suci Zat yang telah memberi nikmat kepadanya.”
Ketika
kapasitas keilmuan dan kewaliannya sudah populer, ratusan ahli fiqih
dari berbagai kalangan di Baghdad berdatangan, setiap orang bertanya
kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailany suatu permasalahan dari berbagai
disiplin ilmu agar mereka bisa mendapat jawaban masalah tersebut dan
mereka terus mendatangi majelis pengajiannya.
Suatu ketika semua
jama’ah sudah duduk, mulailah Syekh berbicara. Terlihatlah dari dadanya
kilat memancarkan cahaya yang tak kelihatan, kecuali oleh orang yang
Allah kehendaki. Kilat tersebut melintasi ratusan hati jamaah yang
kelihatan pucat pasi. Keadaan pun menjadi gaduh. Mereka berteriak
serentak dan akan mengoyak pakaian dan membuka surban mereka
masing-masing. Selanjutnya mereka mencoba naik keatas kursi singgasana
Syekh Abdul Qadir Al-Jailany dan meletakkan kepala mereka di atas dua
kaki Syekh, sehingga keadaan para jama’ah dalam majlis pengajian
tersebut semakin gemuruh. Suasana menjadi riuh seakan-akan kota Baghdad
tengah terjadi gempa saja.
Kemudian Syekh memeluk setiap orang dan merapatkan kedua tangan ke dadanya, dan berkata kepada salah seorang diantara mereka :
”Jika masalah anda seperti itu, maka jawabannya adalah begini…, dan jika masalah anda begini maka jawabannya begini…..”
dan seterusnya sampai ratusan masalah para jamaah tersebut tuntas dijawab oleh Syekh.
Ketika majlis pengajian berakhir, seorang diantara mereka, Muffaris bin Nabhab, bertanya kepada para jamaah :
”Bagaimana keadaan kalian waktu itu ?”
mereka menjawab :
”Ketika
kami berada di tengah pengajian, kami merasa kehilangan pengetahuan
kami, dan ketika Syekh memeluk kami satu persatu, seakan apa yang kami
ketahui tersebut kembali hadir dalam pengetahuan kami”
Syekh
Abdul Qadir Al-Jailany tidak ingin memperdaya umat dengan keajaiban dan
keanehan yang mereka lihat, tetapi beliau menekankan bahwa ilmu hakikat
harus sesuai dengan koridor Syari’at dan ilmu Makrifat. Dan setiap
pelanggaran terhadap ilmu Syari’at merupakan lubang jalan setan dalam
perilaku, walaupun ia dianggap seorang wali.
Syekh abdul Qadir Al-Jailany Ra menuturkan :
”Dalam
sebagian pengembaraan, saya pergi ke suatu daerah dan berdiam disana
beberapa hari tanpa menemukan air, sehingga saya merasa sangat kehausan.
Dalam keadaan seperti itu, tampak mendung menyelimuti dan turunlah
hujan, saya meredakan dahaga dengannya sehingga merasa segar kembali.
Kemudian muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru :
”Hai Abdul Qadir, Aku adalah Tuhanmu! Aku telah memperbolehkan kepadamu setiap yang diharamkan”
Kemudia saya berkata :
” Aku berlindung dari godaan setan yang terkutuk”
Seketika
cahaya tersebut berubah gelap kembali dan sosok tersebut berubah
menjadi asap. Lantas asap tersebut mengeluarkan suara :
”Hai
Abdul Qadir! Kamu selamat dari godaanku, karena ilmu yang kamu miliki
dengan hikmah-hikmah Tuhanmu, dan kekuatanmu dalam kemulian derajatmu,
sebab pada saat ini, aku telah menyesatkan 70 ahli Thariqat”
Saya menyahut :
” Segala keutamaan dan curahan rejeki adalah milik Tuhanku”
Ada seorang yang bertanya kepada Syekh Abdul Qadir aL-Jailany Ra:
“ Bagaimana anda tahu kalau itu setan?”
Syekh menjawab :
”Betulkah Dia ( Tuhan ) telah menghalalkan yang haram untukmu?”
Dalam
kesempatan lain, Syekh Abdul Qadir al-Jailany memberi wejangan agar
memegang teguh Kitabullah dan sunnah Rasul dan konsisten mengikuti Nabi
Muhammad SAW:
”Setiap Hakikat yang tidak terlihat dasar
syari’atnya adalah Zindiq. Terbanglah kepada Al-Haqq dengan dua sayap
kitabullah dan Sunnah Rasul. Masuklah kepadanya dan genggamlah oleh
tanganmu tangan Rasul SAW; jadikanlah beliau sebagai menteri dan guru
sekaligus, eratkan tangannya agar menghiasimu, menyisirmu dan membuatmu
tampil”
Suatu saat Syekh Abdul Qadir ditanya tentang
“cara memperoleh Semangat” ( untuk beribadah );
Beliau menjawab :
”Caranya
adalah dengan menelanjangi ( membebaskan ) diri dari kecintaan terhadap
dunia, mempertautkan jiwa hanya dengan akherat, menyatukan kehendak
hati dengan kehendak Allah swt dan membersihkan batin dari
ketergantungan kepada makhluk.”
Saat ditanya tentang “Menangis”;
Beliau berkata:
”menangislah kamu karena Allah swt, menangislah karena jauh darinya dan menangislah untuknya.”
Saat ditanya tentang “Dunia”;
Beliau berkata:
”Keluarkanlah ia dari hatimu kedalam tanganmu! Dengan begitu ia tidak mencelakakanmu.”
Dan ketika ditanya tentang “Syukur”,
beliau berkata:
”Hakikat
Syukur adalah mengakui dengan penuh ketundukan terhadap nikmat si
Pemberi nikmat, mempersaksikan karunianya dan memelihara kehormatannya
dengan menyadari, sesungguhnya bahwa kita tidak akan sanggup untuk
bersyukur dalam artian yang sebenarnya.”
Beliau berkata:
”Orang
miskin yang sabar karena Allah swt menghadapi kemiskinannya adalah
lebih baik daripada orang kaya yang bersyukur kepadanya. Orang Miskin
yang bersyukur adalah lebih baik dari kedua orang di atas. Sedangkan
Orang Miskin yang sabar dan bersyukur adalah lebih baik dari mereka
semua. Tidak ada yang sabar menjalani Ujian, kecuali orang yang tahu
akan hakikat ujian tersebut.”
Ketika ditanya tentang al-Baqa ( keabadian),
beliau menjawab :
”Tidaklah
keabadian itu melainkan dengan perjumpaan dengan Allah swt, sedangkan
perjumpaan dengan Allah swt itu adalah seperti kedipan mata, atau lebih
cepat dari itu. Di antara ciri orang yang akan berjumpa dengan tuhannya
adalah tidak terdapat sesuatu yang bersifat fana pada dirinya sama
sekali. Sebab keabadian dan fana adalah dua sifat yang saling bertolak
belakang.”
Beliau pernah berkata :
”Makhluk adalah tabir
penghalang bagi dirimu, dan dirimu adalah tabir penghalang bagi tuhanmu.
Selama kamu melihat makhluk, selama itu pula kamu tidak melihat dirimu,
selama itu pula kamu tidak melihat tuhanmu.”
Di antara akhlak
beliau yang sangat mulia dan agung adalah selalu berada disamping
orang-orang kecil dan para hamba sahaya untuk mengayomi mereka. Beliau
senantiasa bergaul dengan orang-orang miskin, sambil membersihkan
pakaian mereka. Beliau sama sekali tidak pernah mendekati para pembesar
atau para pembantu Negara. Juga sama sekali tidak pernah mendekati rumah
seorang menteri atau raja.
Suatu saat Syekh Abdul Qadir Al-Jailany
mengungkapkan ilham batinnya dalam pengajiannya, meski yang hadir
jumlahnya mencapai 70 000 orang. Cerita ini sudah banyak yang
meriwayatkan secara mutawatir. Syekh Abu Bakar Al’Imad berkata :
“Tatkala
aku membaca mengenai permasalahan dasar-dasar agama, aku terjerembab
dalam keraguan, sampai aku telat mengikuti pengajian Syekh Abdul Qadir.
Setelah aku berlalu, dia bicara :
“Akidah kita adalah akidah Salaf yang shaleh dan sahabat.”
Aku
sepakat dengan tutur katanya; kataku dalam hati. Dia kemudian berbicara
sembari menengok ke arahku dan beliau mengulangi sampai tiga kali, lalu
beliau berkata :
”Hai Abu Bakar! Ayahmu telah datang” sedangkan
ayahku sudah tiada, hingga aku berdiri bergegas. Jika Syekh memalingkan
kepalanya dariku, maka ayahku datang.
Begitu juga Al-Syuhrawardy bercerita hal yang sama :
”Aku
berniat menekuni dasar-dasar agama, aku berkata kepada diriku sendiri
bahwa aku perlu minta nasihat kepada Syekh Abdul Qadir, lalu aku datangi
beliau.
Lantas beliau berbicara kepadaku sebelum aku mengutarakan niatku :
”Hai Umar, apa persiapan menuju kematian? Hai Umar, apa saja persiapan menuju kematian?”
Kala
Syekh Abdul Qadir Al-Jailany masih muda, yakni ketika menekuni ilmu,
dan menapaki “Hal”( kondisi ruhani ), serta berpetualang ke padang pasir
siang malam, selalu terlihat dengan wajah serius, sampai beliau
mendengar para pengembara padang pasir berteriak dahsyat, hingga beliau
mengira mereka mati. Setelah itu, beliau berkeinginan kuat untuk keluar
dari Baghdad, lalu beliau mendengar suara dari jauh ;”kembali kepada
manusia karena dirimu punya daya guna”
Cerita diatas menggambarkan
betapa beliau dicintai banyak jama’ah nya; mereka kembali kepada agama
melalui kefigurannya, dan banyak orang nasrani dan yahudi yang masuk
islam melalui tangannya.
Ada cerita dari Abu Al-Tsana’ Al-Nahramulky
:”Kami mendapat cerita bahwa lalat tidak mau menghinggapi Syekh Abdul
Qadir. Lalu aku mendatangi beliau, beliau berkata :”Apa yang telah
diperbuat lalat terhadapku? Tidak ada racun dunia dan pula madu
akhirat.”
Beberapa Gelar Syeikh Abdul Qadir
• Muhyiddin was Sunnah ( Tokoh yang menghidupkan agama dan sunah )
• Mumitul Bid’ah ( Tokoh yang menghapuskan bid’ah )
• Al-Imamuz zahid ( Pemimpin yang zuhud dalam kehidupannya )
• Al-Ariful Qudwah ( Gelar untuk seorang tokoh yang termasyhur dan menjadi suri teladan)
• Syaikhul Islam
• As-Sultanul Awlia ( Pemimpin para wali )
• Al-Asfiya ( Imam para sufi)
• Wali Quthb.
Murid-murid Syekh Abdul Qadir Al-Jilany
• Syekh Abu Ali bin Musallam bin Abi Al-Jud Al-Farisi Al-Iraqi
• Syekh Abu Abdullah Muhammad bin Abu Ma’ali bin Qayyid Al-Awwani
• Syekh Abu Qasim Abdul Malik bin Isa bin Dirbas
• Syekh Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali As-Surur
• Syekh Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah bin Miqdam bin Nassar Al-Maqdisi
• Syekh Abu Ma’ali Ahmad bin Abdul Ghani bin Muhammad bin Hanifah Al-Bajisrani
• Abul Mahasin Umar bin Ali bin Khidhr Al-Quraisyi
Wafatnya Syekh Abdul Qadir Al-Jailany
Periode
pertama dalam hidupnya, diisi dengan menuntut ilmu sekaligus
mengumpulkan dan menyusun karya dari ilmu tersebut. Sampai ketika
menginjak usia 40 tahun, beliau membuka pengajian mengenai ilmu kalam
dan konsultasi keagamaan pada sekolahnya di Babulizaj, Baghdad, yaitu
sejak tahun 521-561 H.
Sekian lama beliau mengajar dan memberi fatwa
di madrasahnya, yaitu selama 33 tahun, sejak 528 H- 561 H. beliau tidak
menyisakan waktu kecuali untuk menginfaqkan ilmu dan semangatnya dari
pengajaran sampai memberi teladan zuhud, ibadah dan makrifat. Usia Syekh
Abdul Qadir Al-Jailany 91 tahun saat wafat pada tanggal 11 Rabiul Akhir
tahun 561 H/ 1166 M, dan dikuburkan di perguruannya di Babulizaj,
Baghdad.
Pengelolaan madrasah diteruskan oleh anak-anak beliau; Abdul
Wahhab ( 552 H/ 1151 M – 593 H/ 1197 M) dan Abdul Salam ( 548 H/1151 M –
611 H/1213 M). Di masa Abdul Salam, Tareqat Qadariyah berkembang pesat.
Wasiat dan Nasihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailany.
•
Ikutilah Sunnah rasul dengan penuh keimanan, jangan mengerjakan bid’ah,
patuhlah selalu kepada Allah swt dan Rasulnya, janganlah melanggar.
Junjung tinggi tauhid, jangan menyukutukan Allah swt, selalu sucikan
Allah swt, dan jangan berburuk sangka kepadanya. Pertahankanlah
kebenarannya, jangan ragu sedikitpun. Bersabarlah selalu, jangan
menunjukkan ketidak sabaran. Beristiqomahlah dengan berharap kepadanya;
bekerja samalah dalam ketaatan, jangan berpecah belah. Saling
mencintailah, dan jangan saling mendendam.
• Tabir penutup kalbumu
tak akan tersibak selama engkau belum lepas dari alam ciptaan; tidak
berpaling darinya dalam keadaan hidup selama hawa nafsumu belum pupus;
selama engkau melepaskan diri dari kemaujudan dunia dan akhirat; selama
jiwamu belum bersatu dengan kehendak Allah swt dan cahayanya. Jika
jiwamu bersatu dengan kehendak Allah swt dan mencapai kedekatan
denganNya lewat pertolonganNya. Makna hakiki bersatu dengan Allah swt
ialah berlepas diri dari makhluq dan kedirian; serta sesuai dengan
kehendaknya tanpa gerakmu; yang ada hanya kehendaknya. Inilah keadaan
fana dirimu; dan dalam keadaan itulah engkau bersatu denganNya; bukan
dengan bersatu dengan ciptaannya. Sesuai Firman Allah swt :”Tak ada
sesuatupun yang serupa dengannnya. Dan dialah yang Maha Mendengar dan
Maha Melihat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar