Ada
seorang pedagang sayur memiliki se-ekor burung Beo yang dapat bicara dan
bersuara merdu. Ia bisa bicara dengan bahasa manusia dan lihai pula menyanyikan
kicau Beo yang lainnya. Setiap hari, sambil bertengger di atas bangku si Beo
senantiasa mengawasi kedai jika si
pedagang sayur tak berada di tempat. Dan si Beo akan selalu bicara lembut
kepada semua orang yang datang ke kedai tersebut.
Suatu
ketika si Beo melompat dari bangku dan berusaha untuk terbang ke tempat yang
lain. Namun malang ia membentur sebuah botol dan menumpahkan minyak yang ada di
dalamnya. Pada saat yang sama si pedagang sayur datang dan mendapati keadaan
itu. Demi dilihatnya minyak yang tumpah telah mengotori bangkunya dan
mengetahui bahwa hal itu terjadi adalah lantaran ulah si Beo, maka serta merta
si Beo ditangkapnya. Lalu kepala Beo tersebut digundulinya hingga botak. Dan Kejadian
itu telah membuat si Beo frustrasi. Berhari-hari ia tidak mau bicara, sehingga
menimbulkan rasa penyesalan yang dalam di hati si pedagang sayur. Dan kerap ia
menangisi perbuatannya sehingga janggutnya basah oleh air mata.
Sudah
tiga hari tiga malam berlalu si Beo tetap bungkam, sementara si pedagang
berusaha menebus dosa-dosanya dengan memberikan sedekah kepada setiap
orang dengan harapan Beonya kembali
bicara. Hingga sampailah suatu hari seorang darwis
(pengemis yang rajin ibadah) yang berkepala botak datang ke kedai tersebut. Dan
ketika si Beo melihat keadaan sang darwis
serta merta iapun berteriak: “Hai
sahabat, mengapa kepalamu gundul ?. Hai si Botak, apakah engkau juga
menumpahkan minyak seperti yang kulakukan ?.”
Demi
mendengar itu tersenyumlah si pedagang dan berujar kepada Beonya: “Wahai Beo yang cerdas, ternyata engkau
masih mau bicara, akan tetapi janganlah kau
ukur keadaan orang lain dengan keadaan yang ada pada dirimu, sekalipun
secara lahiriah kondisi engkau dan dirinya tampak sama”
Wallahua’lam.
Jangan mengukur
orang dengan keadaan dirimu (Al-Matsnawi
karangan Syaikh Jalaluddin Ar-Rumy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar