“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.”(QS
Thaha [20]:14)
Shalat diambil dari kata washlat (pelekatan). Orang awam mengartikan
ini “taat mengikuti peraturan khusus tertentu dalam berdoa”, dan kaum
esoterik mengartikannya “pelekatan (taat menjelang) daripada Pecinta kepada Yang Dicintai.”
Shalat adalah mi’raj seorang mukmin–yang sesudah mengosongkan dirinya
daripada dirinya sendiri, mencapai Yang Dicintainya (Kekasihnya);
inilah yang dinamakan maqam Mahmuud (QS [17]:79)
“Alladzinahum ‘ala shalatihim daimun, Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.”(QS [70]:23)
Shalat, adalah untuk menetapkan hakikat kesadaran yang senantiasa
“terjaga dan berjaga”. Perjumpaan antara keadaan terjaga dan berjaga
adalah pertemuan antara hati nurani dan akal budi. Kondisi ini hanya
dapat dialami oleh siapa saja yang selalu dalam keadaan shalat untuk
mengingat Allah.
Lebih khusus lagi, kondisi ini hanya dapat dirasakan oleh siapa saja
yang bukan sekedar mengerjakan shalat untuk menggugurkan kewajiban,
melainkan mendirikan shalat dengan tetap berada dalam keadaan shalat
yang terus menerus tanpa mengenal waktu. Berbeda dengan shalat fardhu
lima waktu dan shalat sunnah lainnya, shalat terus menerus ini dikenal
dengan shalat daim.
Sang pecinta adalah selamanya terbenam dalam cinta Sang Kekasih; yang
lain itu, yaitu shalat biasa adalah pada lima waktu tertentu. Shalat
lima waktu itu ditujukan menghadap kiblat, dan shalat daim langsung
terhadap wajah Tuhan.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah…”(QS [2]:115)
Jika shalat fardhu dan sunnah adalah shalat raga, yang diawali dengan
menyucikan badan dari hadas (kotoran) kecil dan hadas besar, menutup
aurat, dan mengerjakan rukun shalat dari niat shalat hingga salam maka
shalat daim adalah shalat jiwa, yang diawali dengan menyucikan diri dari
penyakit hati, menutup panca indera dari godaan duniawi, dan
mengekalkan rukun shalat daim dengan dzikir nafas yang terus menerus.
Wudhu pada yang satu adalah penyucian diri daripada kenajisan
badaniah dan moral; dan pada yang lain adalah pemisahan daripada diri
(“mengosongkan diri dari diri sendiri”)**. Wudhu adalah “pemisahan”, dan shalat adalah “pelekatan”
Shalat daim adalah shalat hakikat, ketika shalat fardhu dan sunnah adalah shalat syariat dan thariqat.
Shalat lima waktu adalah shalat syariat yang siapa melaksanakannya
maka ia telah menunaikan kewajiban dari Allah sehingga mendapatkan
kebaikan dan terhindar dari keburukan, sebagaimana QS [29]:45
“Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar.”
Shalat sunnah adalah shalat thariqat yang siapa saja melaksanakannya
maka ia memperoleh cinta dari Allah. Dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan
Bukhari, Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman,”Dan
tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih
Aku cintai daripada ia mengerjakan apa yang telah Aku wajibkan
kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku
dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku
mencintainya, maka Aku menjadi pendengaran baginya mendengar,
penglihatan baginya melihat, tangan baginya memegang, dan kaki baginya
berjalan.”
Shalat daim adalah shalat hakikat yang siapa terus menerus
mengingat Allah maka ia telah mencapai hakikat shalat, yaitu mengingat
Allah. Caranya adalah dengan menghirup napas sembari membatin lafadz
“Hu” dan mengembuskannya seraya membatin lafadz “Allah”. “Hu” adalah
ringkasan dari “Huwa” atau “Sang Dia”, Allah itu sendiri. Dalam QS
Al’A’raf [7]:205 diajarkan, “Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam napasmu
(dalam hati) dengan merendahkan diri dan rasa takut, dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah engkau
termasuk orang-orang yang lalai.”
Maka, selama kita bernapas, baik itu dalam keadaan berdiri, duduk,
atau berbaring, maupun dalam kesibukan sehari-hari, selama itu pula kita
dalam keadaan mengingat Allah, dan ingatan kepada Allah ini menegaskan
keadaan manusia yang dimuliakan oleh Allah dengan akal : “(orang-orang
yang berakal) yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan
berdiri, duduk, atau berbaring.”(QS [3]:191)
Setelah shalat daim, fase berikutnya adalah shalat wustha yang merupakan shalat makrifat.
Shalat wustha ditegakkan ketika seluruh fase shalat telah sempurna.
“Perliharalah semua shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah
dalam keadaan shalatmu yang khusyu.”(QS [2]:238)
Wustha adalah pertengahan, pusat, atau poros. Sebagian ulama
menafsirkan shalat wustha sebagai shalat Asar, tetapi suratan ayat
menyebutkan “semua shalatmu” yang di dalamnya tentu termasuk shalat
Asar, sedangkan shalat wustha disebutkan di luar itu. Sebagaimana shalat
daim, shalat wustha melingkupi wilayah batiniyah manusia. Shalat
wustha adalah shalat ruh. Shalat wustha adalah shalat jantung. Fungsi
jantung laksana raja bagi seluruh anggota tubuh manusia. Jantung adalah
tonggak kehidupan, pemompa darah ke sekujur badan, bahkan mata saja
disebut sebagai cermin jantung–yang apapun terjadi padanya akan tampak
pada mata, demikian pula apa yang dilihat oleh mata seketika
informasinya dikirim ke jantung. Bila makrifat dimaknai sebagai keadaan
melihat–setelah kasyaf atau terbuka hijab dan tajalli atau menerima
cahaya–maka hal ini pun berkaitan dengan mata.
Dalam hadits Qudsi, Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah Ta’ala berkata,”Aku jadikan pada tubuh anak Adam itu qasrun (istana kerajaan diri), yang di dalamnya ada shadrun (singgasana kesadaran), yang di dalamnya ada qalbu (mahkota hati), yang di dalamnya ada fuad (jantung hati, kearifan diri), yang di dalamnya ada syaqaf (mata hati, ketajaman intuisis), yang di dalamnya ada lubbun (lubuk hati, desiran), yang di dalamnya ada sirrun (rahasia hati, kehendak), yang di dalamnya ada Aku.”
Diibaratkan mata maka qasrun adalah kelopak mata, shadrun adalah
selaput putih mata, qalbu adalah mata, fuad adalah pupil atau anak mata,
syaqaf adalah lensa mata, lubbun adalah retina, dan sirrun adalah
penglihatan. Jika pintu qasrun tertutup maka tak akan ada jalan masuk
bagi cahaya. Bila shadrun buram maka cahaya tak dapat diterima oleh
fuad. Setelah diterima oleh fuad, cahaya memusat pada syaqaf sebelum
bayangannya dibawa ke lubbun. Sirrun sebagai fase terakhir tergantung
sejak dari proses awal. Ketika penglihatan berlangsung, yang terjadi
pada mata sesungguhnya memulangkan cahaya ke asalnya.
Ketika sudah sampai pada shalat wustha, yang dilihat sesungguhnya
adalah cahaya Maha cahaya. Jika demikian adanya maka berlakulah keadaan fa ainama tuwallu fatsamma wajhu ‘l-lahi : maka kemanapun engkau berpaling di situlah wajah Allah (QS [2];115).
Jalan menuju keadaan makrifat adalah dengan shalat wustha. Bila
dengan jantung batin atau hati maka merujuk pada jantung Al-Qur’an,
yaitu “Walyatalaththaf” atau berlemah lembut seperti termaktub
dalam QS Al-Kahfi [18]:19. Bila dengan jantung zahir atau organ jantung
maka menghidupkan dzikir tahlil dengan penekanan kata “illa ‘l-lah” pada detak jantung. Bila dengan mata maka dengan pandangan yang teduh dan meneduhkan, yaitu pandangan yang baik pada Khaliq
dan makhluk. Rasulullah Saw bersabda,”Sesungguhnya ada 2 hal pada
dirimu yang Allah cintai, yaitu lemah lembut dan tidak mudah marah.”(HR.
Muslim)
Bila shalat daim diawali dengan menyucikan diri dari penyakit hati,
maka shalat wustha sesungguhnya adalah penjagaan hati supaya tidak lagi
dihinggapi oleh penyakit.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar