Kamis, Desember 24

Tentang Sholat (sufistik)

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.”(QS Thaha [20]:14)
Shalat diambil dari kata washlat (pelekatan). Orang awam mengartikan ini “taat mengikuti peraturan khusus tertentu dalam berdoa”, dan kaum esoterik mengartikannya “pelekatan (taat menjelang) daripada Pecinta kepada Yang Dicintai.”
Shalat adalah mi’raj seorang mukmin–yang sesudah mengosongkan dirinya daripada dirinya sendiri, mencapai Yang Dicintainya (Kekasihnya); inilah yang dinamakan maqam Mahmuud (QS [17]:79)
Alladzinahum ‘ala shalatihim daimun, Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.”(QS [70]:23)
Shalat, adalah untuk menetapkan hakikat kesadaran yang senantiasa “terjaga dan berjaga”. Perjumpaan antara keadaan terjaga dan berjaga adalah pertemuan antara hati nurani dan akal budi. Kondisi ini hanya dapat dialami oleh siapa saja yang selalu dalam keadaan shalat untuk mengingat Allah.
Lebih khusus lagi, kondisi ini hanya dapat dirasakan oleh siapa saja yang bukan sekedar mengerjakan shalat untuk menggugurkan kewajiban, melainkan mendirikan shalat dengan tetap berada dalam keadaan shalat yang terus menerus tanpa mengenal waktu. Berbeda dengan shalat fardhu lima waktu dan shalat sunnah lainnya, shalat terus menerus ini dikenal dengan shalat daim.
Sang pecinta adalah selamanya terbenam dalam cinta Sang Kekasih; yang lain itu, yaitu shalat biasa adalah pada lima waktu tertentu. Shalat lima waktu itu ditujukan menghadap kiblat, dan shalat daim langsung terhadap wajah Tuhan.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah…”(QS [2]:115)
Jika shalat fardhu dan sunnah adalah shalat raga, yang diawali dengan menyucikan badan dari hadas (kotoran) kecil dan hadas besar, menutup aurat, dan mengerjakan rukun shalat dari niat shalat hingga salam maka shalat daim adalah shalat jiwa, yang diawali dengan menyucikan diri dari penyakit hati, menutup panca indera dari godaan duniawi, dan mengekalkan rukun shalat daim dengan dzikir nafas yang terus menerus.
Wudhu pada yang satu adalah penyucian diri daripada kenajisan badaniah dan moral; dan pada yang lain adalah pemisahan daripada diri (“mengosongkan diri dari diri sendiri”)**. Wudhu adalah “pemisahan”, dan shalat adalah “pelekatan”
Shalat daim adalah shalat hakikat, ketika shalat fardhu dan sunnah adalah shalat syariat dan thariqat.
Shalat lima waktu adalah shalat syariat yang siapa melaksanakannya maka ia telah menunaikan kewajiban dari Allah sehingga mendapatkan kebaikan dan terhindar dari keburukan, sebagaimana QS [29]:45 “Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar.”
Shalat sunnah adalah shalat thariqat yang siapa saja melaksanakannya maka ia memperoleh cinta dari Allah.  Dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman,”Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada ia mengerjakan apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengaran baginya mendengar, penglihatan baginya melihat, tangan baginya memegang, dan kaki baginya berjalan.”
Shalat daim adalah shalat hakikat yang siapa terus menerus mengingat Allah maka ia telah mencapai hakikat shalat, yaitu mengingat Allah. Caranya adalah dengan menghirup napas sembari membatin lafadz “Hu” dan mengembuskannya seraya membatin lafadz “Allah”. “Hu” adalah ringkasan dari “Huwa” atau “Sang Dia”, Allah itu sendiri. Dalam QS Al’A’raf [7]:205 diajarkan, “Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam napasmu (dalam hati) dengan merendahkan diri dan rasa takut, dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai.”
Maka, selama kita bernapas, baik itu dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring, maupun dalam kesibukan sehari-hari, selama itu pula kita dalam keadaan mengingat Allah, dan ingatan kepada Allah ini menegaskan keadaan manusia yang dimuliakan oleh Allah dengan akal : “(orang-orang yang berakal) yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring.”(QS [3]:191)
Setelah shalat daim, fase berikutnya adalah shalat wustha yang merupakan shalat makrifat.
Shalat wustha ditegakkan ketika seluruh fase shalat telah sempurna. “Perliharalah semua shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah dalam keadaan shalatmu yang khusyu.”(QS [2]:238)
Wustha adalah pertengahan, pusat, atau poros. Sebagian ulama menafsirkan shalat wustha sebagai shalat Asar, tetapi suratan ayat menyebutkan “semua shalatmu” yang di dalamnya  tentu termasuk shalat Asar, sedangkan shalat wustha disebutkan di luar itu. Sebagaimana shalat daim, shalat wustha melingkupi wilayah batiniyah manusia.  Shalat wustha adalah shalat ruh. Shalat wustha adalah shalat jantung. Fungsi jantung laksana raja bagi seluruh anggota tubuh manusia. Jantung adalah tonggak kehidupan, pemompa darah ke sekujur badan, bahkan mata saja disebut sebagai cermin jantung–yang apapun terjadi padanya akan tampak pada mata, demikian pula apa yang dilihat oleh mata seketika informasinya dikirim ke jantung. Bila makrifat dimaknai sebagai keadaan melihat–setelah kasyaf atau terbuka hijab dan tajalli atau menerima cahaya–maka hal ini pun berkaitan dengan mata.
Dalam hadits Qudsi, Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah Ta’ala berkata,”Aku jadikan pada tubuh anak Adam itu qasrun (istana kerajaan diri), yang di dalamnya ada shadrun (singgasana kesadaran), yang di dalamnya ada qalbu (mahkota hati), yang di dalamnya ada fuad (jantung hati, kearifan diri), yang di dalamnya ada syaqaf (mata hati, ketajaman intuisis), yang di dalamnya ada lubbun (lubuk hati, desiran), yang di dalamnya ada sirrun (rahasia hati, kehendak), yang di dalamnya ada Aku.”
Diibaratkan mata maka qasrun adalah kelopak mata, shadrun adalah selaput putih mata, qalbu adalah mata, fuad adalah pupil atau anak mata, syaqaf adalah lensa mata, lubbun adalah retina, dan sirrun adalah penglihatan. Jika pintu qasrun tertutup maka tak akan ada jalan masuk bagi cahaya. Bila shadrun buram maka cahaya tak dapat diterima oleh fuad. Setelah diterima oleh fuad, cahaya memusat pada syaqaf sebelum bayangannya dibawa ke lubbun. Sirrun sebagai fase terakhir tergantung sejak dari proses awal. Ketika penglihatan berlangsung, yang terjadi pada mata sesungguhnya memulangkan cahaya ke asalnya.
Ketika sudah sampai pada shalat wustha, yang dilihat sesungguhnya adalah cahaya Maha cahaya. Jika demikian adanya maka berlakulah keadaan fa ainama tuwallu fatsamma wajhu ‘l-lahi : maka kemanapun engkau berpaling di situlah wajah Allah (QS [2];115).
Jalan menuju keadaan makrifat adalah dengan shalat wustha. Bila dengan jantung batin atau hati maka merujuk pada jantung Al-Qur’an, yaitu “Walyatalaththaf” atau berlemah lembut seperti termaktub dalam QS Al-Kahfi [18]:19. Bila dengan jantung zahir atau organ  jantung maka menghidupkan dzikir tahlil dengan penekanan kata “illa ‘l-lah” pada detak jantung. Bila dengan mata maka dengan pandangan yang teduh dan meneduhkan, yaitu pandangan yang baik pada Khaliq dan makhluk. Rasulullah Saw bersabda,”Sesungguhnya ada 2 hal pada dirimu yang Allah cintai, yaitu lemah lembut dan tidak mudah marah.”(HR. Muslim)
Bila shalat daim diawali dengan menyucikan diri dari penyakit hati, maka shalat wustha sesungguhnya adalah penjagaan hati supaya tidak lagi dihinggapi oleh penyakit.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar