Kamis, Desember 24

Esensi Cinta | Imam Al-Ghazali

“Adapun orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah.”(QS [2]:165),
“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.”(QS [5]:54).
“Tuhan adalah Cinta.”(Al-Hadits)
Esensi Cinta ini difirmankan-Nya dalam sebuah hadits Qudsi yang merupakan favorit para Sufi : “Aku ingin mengenalkan Diri-Ku bahwa Aku Pengampun, Penutup Aib, Yang Mahaindah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Oleh karena itu, Aku menciptakan makhluk supaya diri-Ku dikenal.”
Fitrah suatu Dzat Yang Penuh Cinta dan Kasih Sayang adalah mengungkapkan kebaikannya itu, meluapkan kasih sayangnya itu. Setiap peluapan kasih sayang membutuhkan objek. Dalam rangka peluapan kasih sayang-Nya inilah, alam semesta tercipta. Yakni, sebagai objek peluapan kasih sayang-Nya itu.
“Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi. Aku cinta (rindu) untuk diketahui. Maka, Aku ciptakan alam agar Aku dikenali.”
Jadi, sesungguhnya alam tercipta karena cinta, prinsip penggeraknya adalah cinta, pengikatnya adalah cinta. Tujuan akhirnya pun adalah cinta.
Salah satu kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan cinta adalah Wudd, yang dalam bahasa Arab berarti bentuk tertinggi dari cinta, dan disebutkan dalam Al-Qur’an : “Sesungguhnya mereka yang percaya dan melakukan hal-hal yang baik, Yang Pemurah akan menentukan bagi mereka cinta.”(QS [19];96). Di sini, rahmah (kasih) dan wudd (cinta) digunakan bersama-sama.
Di tempat lain dalam Al-Qur’an, wudd (cinta) dan ghufran (ampunan) disebutkan secara bersamaan : “Dan Dia adalah Maha pengampun dan Pecinta.”(QS [85]:14).
Sedangkan rahmah (kasih) dan wudd (cinta) disebutkan bersama-sama dalam ayat ini : “Mintalah pengampunan dari Tuhanmu dan kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya, Tuhanku adalah Maha Penyayang, Pecinta.”(QS [11]:90).
Al-Wadud adalah salah satu dari nama-nama indah Allah yang berarti Sumber Cinta. Dia telah menganugerahi manusia dengan kapasitas tidak terbatas untuk mengembangkan cinta. Hubb adalah kata lain yang digunakan dalam Al-Qur’an yang juga berarti cinta, sebagaimana dinyatakan dalam : …Tuhan akan mendatangkan orang yang Dia kasihi dan yang mengasihi Dia.(QS [5]:54).
Sesungguhnya, cinta adalah sifat hakiki Allah. Dia menekankan dalam Al-Qur’an bahwa, Dia telah mewajibkan atas diri-Nya kasih sayang (QS [6]:12). Juga, Kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu (QS [7]:156), dan Sesungguhnya Tuhanku adalah Yang Maha Pemurah, dan Maha Penyayang (QS [11]:80). Selain itu, dalam beberapa hadits Qudsi, Allah mengungkapkan dengan tegas bahwa “Kasih sayang-Ku mendominasi murka-Ku.”
Sesungguhnya Islam memang mempromosikan hubungan penuh cinta kasih dan kerinduan di antara manusia dan Tuhan, persis seperti hubungan perindu dan yang dirindui. Al-Qur’an pun menegaskan bahwa seharusnya cintalah yang melandasi hubungan antara manusia dan Allah :…Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…(QS [5]:54).
Sesungguhnya, “hubungan penuh kecintaan” ini jugalah yang dimaksud ketika Allah berfirman, Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menghamba (beribadah) kepada-Ku (QS [51]:56).
Mahabbah, hubb (cinta) dan ‘isyq (kerinduan) adalah satu makna. Yang utama di dalam hal ini adalah cinta membara seseorang kepada Sang Kekasih, yaitu pandangan yang menganggap baik segala hal karena api cinta yang menembus pikiran hingga mengobarkan api mujahadah. Lalu, muncul asapnya di balik bagian belakang otak, tampak isyarat-isyarat pikiran tentang cinta dari bagian depan ubun-ubun dan terbuka pintu-pintu kekosongan qalb. Dudukkanlah khayalan Sang Kekasih di depan ‘ayn al-yaqin. Jiwa mengkilapkan cermin mujahadah di dalam memandang keindahan Kekasih.
Asalnya di dalam mahabbah adalah kebersamaan, keakraban, dan kepercayaan pada ucapan kekasih. Ketika itu, keinginan pendambaaan berkobar dengan nyala api kerinduan. Lalu, keadaan ‘isyq mengalahkannya. Jadilah, di jalan-jalan itu, dia tergila-gila pada sesuatu yang menjadi cahaya melankolis. Ucapan bercampur aduk, rongga tenggorokan terbakar, dan langit qalb tertutup karena penampakan Rembulan Kekasih. Perindu itu tetap merindukan, mencintai, dan kebingungan terhadap penampakan keagungan Sang Kekasih. Ketika rongga-rongga tenggorokan itu terbuka, pasangan mempelai kalbu berhamburan dan pasangan angan-angan menari di majelis keintiman (al-wishal). Seruling harapan ditiup dan kecapi harap-harap cemas dipetik. Kemudian, debu bergerak, anda melihat asap harapan. Asap kepayahan menguat, anda melihat kebimbangan di dalam qalb. Di sana, tidak ada ratapan dan tidak pula ketenangan. Tampak kekurusan dan kepucatan. terlihat bekas-bekas keterjagaan. Api kerinduan menyebabkan badan kurus.

Syawq (kerinduan) merupakan pendorong bagi keadaan mukasyafah (ketersingkapan). Syawq adalah harapan untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Sedangkan pertemuan dengan Kekasih tidak diperoleh, kecuali dengan mukasyafah. Mukasyafah itu ada dua, yaitu dengan penglihatan dan dengan perasaan qalb. Ia merupakan penampakan diri Kekasih di dalam keadaan yang dirasakan qalb pecinta. Hakikat mukasyafah adalah memandang Sang Kekasih. namun, hal ini berbeda-beda menurut kadar tingkatan para pecinta. Pandangan manusia itu tidaklah sama. Yang paling rendah tingkatan mereka adalah pandangan dengan perasaan qalb. Adapun pandangan dengan penglihatan pada suatu kaum merupakan ‘aradh yang tidak menetap. Yang paling agung di antara kedua kedudukan itu adalah gabungan antara pandangan dengan penglihatan dan perasaan qalb. Apabila tabir-tabir kelalaian terangkat, Sang Kekasih akan menampakkan diri. Pecinta menjadi lenyap hingga keluar dari tabir kemanusiaan dan hijab jasmani. Lalu, dia melihat hijab dan mendengar perkataan, Tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang hijab (QS [42]:51).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar