Para ahli hadits (ahli sunnah) bersepakat: iman kepada Allah, para
malaikat-Nya, semua kitab-Nya, segenap Rasul-Nya, bahkan tidak menolak
apapun yang di datangkan Allah dan diriwayatkan Rasul-Nya. Allah itu
Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada Tuhan selain Dia, Dia tidaklah butuh
berteman, tidak beranak maupun di peranakkan (hasan. 1998; 363).
Term..................
Ahlu Sunnah wal Jama’ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap
paham-paham golongan Mu’tazilah yang telah di jelaskan sebelumnya dan
terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran itu, di samping
usaha-usaha telah di jalankan dalam menentang serangan musuh-musuh
Islam. Menuru ibnu al-Murtada, wasil mengirim murid-muridnya ke
Khurasan, Armenia, Yaman, Marokko dan lain-lain. Kelihatannya
murid-murid itu berhasil dalam usaha-usaha mereka, karena menurut Yaqut
di Tahart, suatu tempat di dekat Tilimsan di Marokko, terdapat kurang
lebih 30 ribu pengikut Wasil. Mulai dari tahun 100 H atau 718 M, kaum
Mu’tazilahdengan perlahan-lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat
Islam. Pengaruh itu mulai mencapai puncaknya di zaman Kholifah-khifah
Bani Abbas al-Ma’mun di tahun 827 M mengakui aliran Mu’tazilah sebagai
mazdhab resmi yang di anut Negara (Harun. 2010; 62 ).
Secara epistimologi, istilh “ahlus sunnah wal jamaah” berarti golongan
yang senantiasamengikuti jalan hidup Rasulullah SAW. Dan jalan hidup
para sahabatnya. Atau, golongan yang berpagang teguh pada Sunnah Rasul
dan Sunnah para Sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat yaitu,
Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khottob, Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thollib.
Selanjutnya, jalan hidup Rasulullah SAW tidak lain ialah ekspresi nyata
dri kandungan Al Qur’an. Ekspresi nyata tersebut kemudian biasanya di
istilahkan dengan al sunnah atau al hadits. Kemudian Al Qur’an sebagai
Kalamullah terkemas tersendiri dalam mushaf Al Qur’an Al Karim.
Sedangkan ekspresi nyatany pada diri Rasullah SAW pun terkemas secara
terpisah dalam Kitab-kitab A Hadits, seperti dalam: sahih al-Bukhori,
sahih Muslim, sunan abu dawud, sunan al tirmidzi, sunan al nasa’i, dan
sunan ibnu majah, seta kitab-kitab al hadits lainnya yang di susun oleh
para ulama’ lainnya.
Imam Al-Asy’ari.......
1. Sejarah
Serangan Mu’azilah terhadap para fukaha’ dan muhadditsin semakin gencar.
Tak seorangpun pakar fiqih yang popular atau pakar hadits yang masyhur
luput dari serangan itu. Suatu serangan dalam bentuk pemikiran disertai
penyiksaan fisik dalam suasana almihnah (inkuisisi). Akibatnya, timbul
kebencian masyarakat mereka yang berkembang menjadi permusuhan, dan
masyarakat melupakan jasa baik dan jeri payah mereka untuk membela Islam
dalam melakukan perlawanan terhadap kaum zindik dan budak hawa nafsu.
Masyarakat hanya mengingat hasutan mereka terhadap para khalifah untuk
melakukan inkuisisi terhadap setiap imam dan ahli hadits yang bertaqwa.
Ketika berkuasa, al-Mutawakkil menjauhkan pengaruh Mu’tazilah dari
pemerintahan. Sebaliknya, dia mendekati lawan-lawan merekadan
membebaskan para ulama’. Para fuqaha dan ulama’ yang beraliran
sunnyserta orang-orang yang menerapkan metode sunny dalam pengkajian
aqidah menggantikan kedudukan mereka. Sebagian ulama’ yang menguasai
metode diskusigolongan Mu’tazilah tidak lagi berpegang terhadap
pendapat-pendapat mereka, malah berusaha membantah pendapat mereka
dengan bahasa yang tajam. Sementara itu, masyarakat awam mendukung
kelompok sunny. Usaha mereka di dukung oleh para ulama’ tekemuka dan
para khalifah.
Pada akhir abad ke-3 H muncul dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu
al-Hasan al-Asy’ari di Bashrah dan Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand.
Mereka bersatu dalam melakukan bantahan terhadap mu’tazilah, meskipun
sedikit banyak mereka mempunyai perbedaan (Zahrah. 1996; 189).
Imam Abul Hasan Ali bin Ismail Al-asy’ari masih keturunan dari sahabat
besar Abu Musa al-Asy’ari, seorang utusan tahkim dalam peristiwa perang
Shiffin dari pihak Sayyidina Ali. Dia lahir di kota Basrah tahun 260 H
(873 M) dan meninggal tahun 330 H (943 M). mula-mula berguru pada
pendekar Mu’tazilah waktu itu, bernama Abu Ali Al-Jubbai. Memang sejak
semula Al-Asy’ari ini pengikut paham Mu’tazilah, yang pada akhirnya
condong terhadap pendapat ahli-ahli fiqih dan hadits pada usia 40 tahun.
Beberapa waktu lamanya dia merenungkan dan mempertimbangkan antara
ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadits. Ketika
berusia 40 tahun, dia berkhalwat di rumah selama 15 hari untuk
memikirkan hal-hal tersebut. Pada hari jum’at, dia naik mimbar di Masjid
Basrah, secara resmi menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah.
Gerakan Al-Asy’aryyah mulai pada abad ke-4 H. ia terlibat dalam konflik
dengan kelompok-kelompok lain, khususnya Mu’tazilah. Dalam konflik keras
ini, al-Baqillani memberikan andil besar. Ia di anggap sebagi pendiri
kedua bagi aliran al-Asy’ariyyah. Permusuhan ini mencapai puncaknya ada
abad ke-5 H atas prakarsa al-kundari (456 H = 1064 M), yang membela
mu’tazilah. Di Khurasan ia mengubarkan fitnah yang berlangsung selama 10
tahun. Tragedy ini menyababkan imam al-Haramain menyingkir ke hijaz.
Sejumlah toko besar dri aliran Asy’ariyyah di penjarakan, termasuk
al-Qusyairi (466 H = 1074 M) sang sufi yang menulis sebuah risalah yang
berjudul Syikayah Ahl Al-Sunnah di Hikayah ma Nalahum min al-Mihnah.
Risalah ini telah di publisir, dan gemanya cukup serius di dunia Islam.
Kemudian kaum Asy’ariyah berhasil meraih kembali kesuksesan mereka atau
prakarsa Nizam al-Mulk (484 H = 1092 M). bintang merekapun mulai naik.
Pendapat-pendapat merekapada abad ke-6 H kira-kira menjadi madzhab
satu-satu nyadan aqidah yang resmi bagi daulah sunny. Tak pelak lagi
bahwa orang-orng saljuk dan ayyubiyah yang dating sesudah mereka
mengakarkannya di timur, dan Ibnu Tumart (523 H = 1130 M) murid
al-gazali ini berhasil mentransfernya ke Maghrib hingga hari ini,
pendapat al-Asy’ariyah tetap menjadi Aqidah Ahlu Al-Sunnah. Pendapatnya
dekat sekali dengan pendapat al-Almaturidi yang suatu saat pernah ia
tentang di sebabkan persaingan dalam masalah fiqih, karena ia mewakili
orang-orang syafi’iyah dan Malikiyah mendominasi pendapat al-Asy’ari.
Memang persaingan ini kemudian melemah (Madkour. 2004; 65).
Adapun sebab terpenting mengapa al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah ialah
karena adanya perpecahan yang di alami kaum Muslimin yang bias
menghancurkan mereka sendiri, kalaau seandainya tidak segera di akhiri.
Sebagai seorang Mslim yang mendambakan atas kepersatuan umat, dia sangat
khawatir kalau Al-Qur’an dan Al-Hadits menjadi korban dari paham-paham
Mu’tazilah yang di anggapnya semakin jauh dari kebenaran, menyesatkan,
dan meresahkan masyarakat. Hal ini di sebabkan karena mereka terlalu
menonjolkan akal pikiran.
2. Doktrin-Doktrin Teologi al-Asy’ariyah
Madzhab Asy’ariyah bertumpu pada Al Qur’an dan al-Sunnah. Mereka amat
teguh memegangi al-ma’sur, “ittiba’ lebih baik dari pada ibtida’,
(membuat bid’ah)”. Al-Asy’ari mengatakan: pendapat yang kami ketengahkan
dan aqidah yang kami pegangi sikap berpegang teguh pada kitab Allah,
Sunnah Nabi-Nya SAW dan apa yang di riwayatkan para Sahabat, Tabi’in dan
Imam-imam Hadits. Kami mendukung semua itu, kami mendukung pendapat
Ahmad bin Hambal –semoga Allah mencemerlangkan wajahnya, mengangkat
derajatnya dan meneguhkan kedudukannya. Sebaliknya, kami menjauhi
orang-orang yang menyalahi pendapatnya”. Rasanya kami tidak perlu
menegaskan bahwa pernyataan ini menunjukkan hubungan Al-asy’ari dengan
Ibnu Hambal (241 H = 855 M) maupun inquisisi bahwa Al Qur’an adalah
makhluk.
Dalam mensitir ayat dan hadits yang hendak di jadikan
argumentasi, kaum Asy’ariyyah bertahap, yang ini merupakaan pola yang
sebelumnya sudah di terapkan oleh al-Asy’ari. Biasanya mereka mengambil
makna lahir dari nas (teks ayat Al Qur’an dan Al Hadits). Mereka
berhati-hati, tidak menolak, penakwilan. Sebab, memang ada nas-nas
tertentu yang memiliki pengertian samar yang tidak bias di ambil dari
makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian
yang di maksud(Madkour. 2004; 66).
Kaum asy’ari tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak
akal padahal Allah SWT menganjurkan agar umat Islam melakukan
kajian-rasional.
Kaum Asy’ariah menerbitkan buku-buku kalam (teologis) mereka dengan
pasal “Tentang Analisa Rasional dan Hukum-hukumnya”, fi al-Nazar wa
ahkamihi. Metode mereka di ikuti orang-orang yang dating kemudian. Pada
prinsipnya, kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada
akal seperti yang di lakukan kaum Mu’tazilah, sehingga mereka tidak
memenang kan dan menemptkan akal di atas naql (teks-teks agama). Bahkan
sebaliknya, mereka secara umum berprinsip bahwa naql menempati posisi
teratas. Akal mereka anggap sebagai pelayan naql. Akal dan naql saling
membutuhkan.
Naql bagaikan matahari yang bersinar sedangkan akal laksana
mata yang sehat. Dengan akal kita akan bisa meneguhkan naql dan membela
agama. Al-Asy’ari telah memperkenalkan bagai man cara memanfaatkan
metode rasional, yang di canangkan oleh kaum Mu’tazilah itu, untuk
membelah dan meneguhkan masalah-masalah keagamaan. Keberhasilan
al-Asy’ari dalaam memaparkan dan mendebatkan metode rasional ini tidak
kalah di bandingkan kesuksesan yang ia raih dalam kecenderungan
sinkretisnya (madkour. 2004; 66-67).
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a. Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Kata Asy’ariyah
mustahil Tuhan mengetahui dengan dzat-Nya. Karena dengan demikian
dzad-Nya dan pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan, Tuhan
bukan pengetahuan tetapi yang mengetahui dan pengetahuan bukanlah
dzad-Nya karena Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan bukan pula
lain dari dzad-Nya, bukan dzad-Nya berarti sifat-sifat Tuhan itu bukan
dzad-Nya akan tetapi bukan lain dari dzad-Nya.
Berarti sifat itu menjadi
satu dengan dzad-Nya.
Menurut asy’ariyah tidak dapat di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat,
karena perbuatan-perbuatannya, disamping menyatakan bahwa Tuhan
mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya juga menyatakan bahwa
Ia mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya.
Dan menurut Al-Baghdadi,
terdapat consensus dikalangan kaum Asy’ariyah bahwa daya, pengetahuan,
hayat, kamauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal.
Kaum asy’ariyah juga mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan,
tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena dari sifat-sifat tidak lain
dari Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa kepada faham adanya
banyakhal yang kekal.
Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya kecil
kepada akal juga menolak faham-faham Tuhan mempunyai sifat jasmani, bila
sifat jasmani dipandang sama dengan sifat jasmani manusia. Kendatipun
ayat-ayat Al-qur’an menggambarkan uhan mempunyai sifat-sifat jasmani.
Hal ini tidak boleh di takwilkan dan harus diterima sebagaimana makna
harfiahnya. Oleh karena itu, Tuhan dalam pandangan al-Asy’ariyah
mempunyai mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana
(Sarkowi.2010:74).
b. Kebebasan dalam berkehendak (Free-Will)
Aliran Asy’ariyah memandang manusia itu lemah. Dalam hal ini kaum
Asy’ariyah lebih dekat kepada paham Jabariyah dari pada paham
Mu’tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung pada kehendak
dan kekuasaan Tuhan (Sarkowi.2010:75).
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan,
serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim,
yakni Jabariyah yang fatalistic dan menganut faham pradeterminisme
semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan
berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, Al-Asy’ari
membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta
(khaliq) perbutan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib).
Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan
segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
Menurut buku lain, perbuatan manusia itu dikerjakan atas Qudrat Allah
disertai dengan Qudrat manusia dan Qudrat Allah-lah yang dapat memberi
bekas.
Jadi perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT. bukanlah diwujudkan
oleh manusia sendiri.
Tetapi dalam perwujudannya manusia juga mempunyai
bagian yang disebut usaha (alkasbu) berbarengan antara perbuatan
seseorang dengan kemampuannya.
Dengan usaha itulah manusia bertanggung jawab atas segala baik dan
buruknya perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian menunjukkan bahwa
manusia itu berhak berusaha, namun Allah jualah yang menentukan
hasilnya.
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal
dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu.Al-Asy’ari mengutamakan
wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan Akal. Dalam menentukan baik
burukpun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari
berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan
mu’tazilah mendasarkannya pada akal (Sarkowi.2010:76).
Menurut Al-Asy’ari bahwa fungsi wahyu (berupa Al-Qur’an) dan hadits Nabi
adalah menjadi pokok utama, sedangkan akal sebagai penguat nash wahyu
dan hadits. Al-Asy’ari tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal tetapi
ia menentang keras terhadap orang yang menganggap bahwa pemakaian akal
tidak pernah disinggung oleh Nabi dalam membicarakan soal-soal agama
termasuk juga menentang orang yang mementingkan diri bahwa akal
mempunyai kedudukan tinggi dibandingkan dengan wahyu.
Menurut Al-Asy’ri, sahabat Nabi sendiri setelah beliau wafat banyak
membicarakan soal-soal baru berdasarkan akal pikiran dengan tidak
mengesampingkan Al-Qur’an dan hadits. Ia juga menentang orang yang
keberatan membela agama dengan ilmu kalam dan argumentasi pikiran,
karena yang demikian ini tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an maupun
hadits.
Dengan demikian jelas bahwa Al-Asy’ari adalah sangat gigih membela
kepercayaan dan mempercayai isi Al-Qur’an dan hadits sebagai dasar yang
pokok disamping menggunakan akal pikiran agar dapat menguatkan nash
Al-Qur’an dan hadits tersebut.
d. Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan
qadimnya Al-Qur’an. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
diciptakan makhluk sehingga tidak qadim serta pandangan madzhab Hambali
dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, (yang
qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua
huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan
kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan
bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua
itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution
mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab
kalau diciptakan.
e. Melihat Allah
Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia
dengan mata kepala di akhirat nanti, tetapi tidak dapat di gambarkan.
Menurutnya yang tidak dapat melihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud
mesti dapat dilihat. Tuhan berwujud dan oleh karena itu dapat dilihat.
Tuhan melihat apa yang ada dan dengan demikian melihat diri-Nya juga,
kalu Tuhan melihat diri-Nya, Ia akan dapat membuat manusia bisa melihat
Tuhan.
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrrim, terutama
Zahiriyah, yang mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan
mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat
Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di
akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjdi
manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia
menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
Sebagian diskusi dalam Al-Asy’ari dicurahkan pada masalah terlihatnya
Tuhan di surga oleh orang-orang yang beriman. Dalam kaitan ini kaum
Mu’tazilah cenderung menyatakan bahwa ini berarti mereka akan mengenali
Tuhan dalam hati (hati merupakan wahana pengetahuan). Tetapi Al-Asy’ari
secara keras menyangkal dengan menyatakan bahwa kalimat “melihat Tuhan
mereka” hanya berarti melihat dalam arti bahasa. Sudah barang tentu ia
mengerti bahwa penglihatan itu “tanpa merinci bagaimana”, dan menolak
pensifatan Tuhan dengan segala kenyataan badaniah.
f. Keadilan.
Pendapat Asy’ariyah tentang ke adilan Tuhan di dasarkan atas fikiran
mereka tentang irodah
( kehendak-Nya ) disatu pihak mereka mengatakan
kebaikan dan keburukan di pihak lain mereka mengatakan bahwa baik dan
buruk adalah gambaran fikiran sumber baik dan buruk adalah syara’
semata. Faham keadilan Tuhan banyak tergantung pada kekuasaan mutlak
Tuhan. Kaum asy’ariyah meninjau segala-galanya dari sudut kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Keadilan mereka artikan menempatkan sesuatu pada
tempat yang sebenarnya serta yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap
harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan
pengetahuan pemilik. Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti
bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat
berbuat sekehendak hatinya dalam kerjaan-Nya.
Sedangkan ketidakadilan diartikan menempatkan sesuatu tidak pada
tempatnya yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang.
Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak dapat
berbuat apa saja yang di kehendakinya dengan makhlukNya. Dan asy’ariyah
berpendapat bahwa Tuhan dapat memberikan hukuman bagi orang mukmin dan
dapat memasukkan orang ke syurga atau ke neraka.
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil.
Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil
sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada
orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan
apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa
Mu’tazilah mengartikan keadilan dari versi manusia yang memiliki
dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari versi bahwa Allah adalah pemilik
mutlak.
g. Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi
seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir.
Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa
besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena
dosa selain kufur.
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagai wakil Ahl
As-Sunnah, tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl
Al-Qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri.
Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan
keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi,
jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini
dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya ia dipandang telah
kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia
meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu
bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak.
Tuhan
dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat
syafaat Nabi SAW. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau
kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesuai dengan dosa
yang dilakukannya. Meskipun begitu ia tidak akan kekal di neraka seperti
orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai,
ia akan dimasukkan kedalam surga.
Dari paparan singkat ini, jelaslah
bahwa Al-Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan
Murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengafirkan para pelaku
dosa besar.
h. Allah menempati ruang
Asy’ari menolak pena’wilan mu’tazilah terhadap ayat ‘Arsy. Menurut dia,
Tuhan benar-benar bertempat di ‘Arsy, seperti yang disebutkan dalam
Al-Qur’an sendiri. Ahlu sunnah mengatakan bahwa Allah menempati ruang
tertentu, dan bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Mereka
membangun argument, namun dasarnya bukan ayat Al-Qur’an, melainkan
sebuah hadist. Dalam hadist ini Rasulullah berkata : “ Tuhan kita,
sebelum menciptakan makhluk-Nya, tidak ada apa-apa bersama-Nya,
dibawah-Nya ada udara, diatas-Nya adalah udara, kemudian Dia menciptakan
tahta-Nya diatas air”.
i. Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Menurut aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan
terbaik bagi manusia ( ash-shalah wa al ashlah ) sebagaimana dikatakan
aliaran mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan
faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini di tegaskan
Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik
bagi manusia. Dengan demikian aliran Asy’ariyah tidak menerima faham
Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya
terhadap makhluk. Sebagaimana di katakana Al-Ghazali,
perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (jaiz) dan tidak satupun
darinya yang mempunyai sifat wajib.
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan
tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham
pemberian beban diluar kemampuan manusia. Al-Asy’ari sendiri dengan
tegas mengatakan dalam Al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang
tak dapat di pikul pada manusia. Al-Ghazalipun mengatakan hal ini dalam
Al-Iqtisad.
Walaupun pengiriman rasulullah mempunyai arti penting dalam teologi,
namun aliran Asy’ariyah menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hai ini
bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban apa-apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang
tidak baik. Sekiranya Tuhan tidak mengutus Rasul kepada umat manusia,
hidup manusia tidak akan mengalami kekacauan, tanpa wahyu, manusia tidak
akan dapat membedakan perbuatan baik dan perbuatan buruk, ia akan
berbuat apa saja yang di kehendakinya. Namun, sesuai dengan faham
Asy’ariyah tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak
menjadi permasalahan bagi teologi mereka, Tuhan berbuat apa saja yang di
kehendakinya. Kalau Tuhan menghendaki manusia hidup dalam masyarakat
kacau. Tuhan dalam faham aliran ini tidak berbuat untuk kepentingan
manusia.
3. Aliran
Sebagai mana telah di terangkan, madzhab al-Asy’ariyyah mempunyai
banyak pengikut. Di irak dan wilayah-wilayah Islam bagian Barat madzhab
ini di kenal sebagai madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah. Banyak tokoh
terkemuka yang menguatkan pandangan al-Asy’ari. Bahkan, sebagian mereka
berpegang pada pandangan secara fanatic; bukan hanya mengenai kesimpulan
yang di capainya, melainkan juga dalam premis-premis yng di gunakan
unuk sampai kepada kesimpulan itu. Mereka mengharuskan kepada para
pengikutnya untuk mengikuti premis dan kesimpulannya (konklusinya)
sekaligus.
4. Tokoh-tokoh madzhab al-as’ariyah
Factor yang menyebabkan kemajuan aliran asy’ariyah dn cepat mendapatkan
simpati di kalangan kaum muslimin pada waktu itu antara lain :
• Mempunyai tokoh-tokoh kenamaan yang dapat mengkonstruksi
ajaran-ajarannya atas dasar filsafat metafisika.
• Kaum muslimin pada waktu itu telah bosan menghadapi dan mendengar
diskusi atau perdebatan-perdebatan pada perbedaan pendapat pertentangan
persoalan al-qur’an khususnya yang dicetuskan oleh aliran mu’tazilah,
sehingga menyebabkan tidak simpatinya terhadap aliran tersebut.
• Mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis dan golongan
tekstualis dan ternyata jalan tersebut dapat di terima oleh mayoritas
kaum muslimin.
• Sejak masa khalifah al-mutawakkil ( Bani Abbasiyah ) pada tahun 848 M,
khalifah mmbatalkan peakaian aliran mu’tazilah sebagai mahzab Negara,
sehingga kaum muslimin pun tidak menganut aliran yang di telah
dibatalkan ( ditinggalkan ) oleh khalifah.
Adapun tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah lainnya yang terkenal,di antaranya :
a. Abu Hasan al-Asy’ari
Al-Asy’ari adalah orang yang mendirikan aliran (al-Asy’ariyah). Aliran
ini ia dirikan berlandaskan pada asas perpaduan antara kaum salaf dengan
mu’tazilah. (sebagai bukti), porsi problematika sifat-sifat tuhan
dengan perpaduan ini Nampak begitu jelas. Disatu pihak, sependapat
dengan kaum salaf, al-Asy’ary meneguhkan sifat-sifat (Tuhan). Sedangkan
pada posisi lain, sependapat dengan kaum mu’tazilah, al-Asy’ari
mengatakan bahwa sifat-sifat itu ada pada zat. Akan tetapi al-asy’ari
mengulang kembali apa yang telah di katakan oleh ibn Kilab bahwa ”Tidak
boleh dikatakan bahwa zat itu adalah sifat-sifat”. Ini merupakan
pernyataan yang tidak terlepas dari kontraksi, dan bagaimanapun juga ia
tidak mengemukakan banyak hal.asy’ari tidak bisa mengingkari apa yang
disebut di dalam kitab Allah dan al-sunnah bahwa Allah punya singgasana,
wajah dan tangan tetapi ia menerima, sejalan dengan kaum salaf, apa
adanya dengan tanpa bagaiman cara dan Tasybih. Al-Asy’ari berusaha keras
untuk menggunakan dalil-dalil naqliah dan akliah yang cocok untuk
memungkinkan melihat Allah dengan cara memberikan kesan kepada kita
seakan dia berbeda pendapat dari kaum mu’tazilah, kemudian segera
menetapkan bahwa peristiwa melihat Allah tidak mengkonsenkuensikan arah
dan ruang, tetapi hanya sekedar jenis pengetahuan dan presepsi, yang
jalannya adalah mata dengan cara yang tidak biasa seperti dunia
(madkour.2004: 69-70).
b. Abu Bakar al-Baqillani (403H = 1013 M)
Abu Bakar al-Baqillani adalah pengganti pertama dari al-Asy’ari. Ia
dilahirkan beberapa tahun setelah al-Asy’ari.ia menghabiskan semua
kehidupnya kiara-kira pada abad ke-4 H. ia sempat hidup di abad ke-5
hanya 3 tahun saja. Jadi ia menyaksikan fase pertama dari sekian fase
yang dilalui oleh mazhab al-Asy’ariah. Ia ikut aktif membela mazhab
al-Asy’ariah menentang mu’tazilah. Ia mengemukakan teori al-Ahwal
(kondisi-kondisi), dan berusaha untuk menyamakan al-Hal (kondisi) dengan
sifat. Tidak diragukan lagi bahwa ia dinilai orang pertama yang
mengokohkan sendi-sendi aliran al-Asy’ariyah. Ia tambah dengan landasan
rasional walaupun ia mengemukakan prinsip yang akibatnya harus ia
tanggung yakni, bahwa batalnya dalil berarti batalnya madlul . ia nyaris
mengulang-ulang teori ketuhanan yang di kemukakan oleh al-Asy’ari
(madkour.2004:71-72).
c. Imam al-Haramain (478 H = 1058 M)
Imam al-Haramain adalah salah satu dari empat tokoh yang membela aliran
al-Asy’ariyah di abad ke-5 H. Tokoh yang kedua adalah ‘abd al-Qahhar
al-Bagdadi (429 H=1037 M) penulis al-farq bain al-Firaq, yang lebih
cenderung berfanatik dan lebih banyak menyerang Mu’tazilah. Tokoh yang
ketiga adalah al-Qusyairi (465 H = 1072 M) yang tertimpa fitnah di
Khurasan yang terjadi antara mu’tazilah dan Asy’ariah. Tokoh keempat
adalah al-Gazali yang hidup hanya beberapa tahun di abad ke-6 H.
Imam al-Haramain lahir di Naisabur. Dari sini, ia pindah ke Hijaz untuk
menghindari fitnah yang terjadi di Khurasan. Ia berdomisili di Bagdad
untuk beberapa waktu. Akhirnya, menetap di Naisabur sekitar 30 tahun
sembari menyebar luaskan mazhab al-Asy’ariyah. Aliran ini ia dukung
melalui Sekolahan Nizamiah yang ia kelola. Sekolahan ini merupakan
aliran pertama yang menyatakan secara terang-terangan sebagai sunni.
Imam haramain mengoreksi apa yang dikatakan oleh yang dikatakan oleh
Baqillani bahwa batinnya dalil yang mengakibatkan batalnya Madlul,
memperluas ruang gerak untuk menerima pendapat-pendapat filosofis yang
tersebar luas di zamannya atas prakarsa Ibnu Sina dan murid-muridnya
meratakan jalan bagi orang-orang belakangan yang telah mencampuradukkan
ilmu kalam dengan filsafat (madkour.2004: 72-73).
d. Al-Gazali (505 H = 1111 M)
Al-Gazali tampil sesudah al-Baqillani. Ia tidak menempuh jalur
al-Baqillani dan tidak menyerukan apa yang diserukannya. Akan tetapi, ia
menyatakan bahwa berbeda dalam berargumentasi dengan al-Baqillani belum
tentu membawa kesimpulan yang salah. Agama yang menyeru pada akal dan
orang wajib mempercayai apa yang dibawa al-Qur’an dan sunnah serta
menetapkannya dengan berbagai dalil yang di kehendakinya.
Pada hakikatnya, al-Ghazali tidak mengikuti Abu al-Hasan al-Asy’ari atau
Abu Manshur al-Maturidi. Ia justru melakukan pengkajian secara liberal
dan intensif, tidak seperti pengkajian orang-orang yang bertaklid. Ia
kebetulan sependapat dengan Asy’ariyah dalam berbagai kesimpulan yang
mereka hasilkan, tetapi ia juga berbeda pendapat dengan mereka dalam
berbagi hal yang mereka pandang wajib diikuti (zahrah.1996:203).
Al-Gazali, sebagaimana halya para penganut aliran Asy’ariyah,
menylaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus di
pergunakan sebagai penopang, karena ai bisa mengetahui dirinya sendiri
dan bisa mempresepsi benda lain. Namun al-Gazali menghentikan akal pada
batas-batas tertentu, dan hanya naql lah yang bisa melewati batas-bats
ini (madkour.2004:73-74).
e. Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)
Di abad ke-6 H ada tiga tokoh lain yang ambil bagian untuk membentengi
dan menyebarkan gerakan al-Asy’ariah. Pertama, adalah ibnu Tumart (524 H
= 1130 M) murid al-Gazali dan putera mahkota Bani Muwahhidin. Ia amat
berjasa dalam menyebar luaskan aliran al-Asy’ariyah di Andalusia dan
Afrika Utara. Kedua, adalah al-Syahrastani yang beberapa waktu hidup
sezaman dengan al-Gazali. Ia masih diberi umur sekitar 40 tahun setelah
al-Gazali wafat. Ketiga, Fakhr al-Din al-Razi yang menghabiskan hamper
semua umurnya di abad ke-6. Di abad ke-7, ia hidup hanya 6 tahun.
Al-Syahrastani benar-benar menguasai sejarah dan pendapat-pendapat dari
berbagai aliran islam. Itu ia paparkan secara obyektif di dalam bukunya,
al-Milal wa al-Nihal (agama dan kepercayaan),yang sudah di kenal para
analis sejak abad yang lampau sebelum mereka menemukan kembali Maqalqt
al-Ialamiyyin.
Walaupun mendalami kajian-kajian teologi islam, tetapi alsyahrastani
berpendapat bahwa “Agama orang-orang yang lemah merupakan hadiah yang
paling tinggi”. Sependapatdengan kaum Asy’ariah, al-Syahrastani menolak
al-Tasybih (antropomorfisme), al-Ta’til (mengosongkan Allah dari
sifat-sifat, nihilisasi) dan al-Ahwal (kondisi-kondisi bagi Allah). Ia
meneguhkan bahwa sifat-sifat (Allah itu) ada pada zat (madkour.2004:75).
f. Fakhr al-Din al-Razi (606 H =1209 M )
Al-Razi adalah seorang mufassirin (ahli tafsir) dan ahli fiqh, seorang
teolog islam dan filosof. Al-Razi, secara tidak dipertentangkan lagi,
adalah filosof Timur yang pertama pada abad ke-6 H. ia begitu serius
menggeluti filsafat, mempelajari logika, masalah-masalah alam
(kosmologi) dan metafisika. Ia berguru kepada Ibnu sina, dan
mengomentari sebagai buku Ibnu Sina. Ia memadukan antara agama dengan
filsafat, dan mencampur filsafat dengan ilmu kalam (teologi islam).
Al-Razi adalah seorang al-Asy’ariyah yang konsisten terhadap ke
Asy’ariyahan nya, walaupun ia cenderung kepada sebagian pandangan
mu’tazilah dan Maturidiyah (madkour.2004:76).
Imam Al-Maturidi.........
1. Sejarah
Nama aliran ini disandarkan pada pendiri dan pencetusnya, yaitu Abu
Manshur Al-maturidi. Beliau dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di
daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang
sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara
pasti, hanya di perkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia
wafat pada tahun 333 H/944 M. guruna dalam bidang fiqih dan teologi
bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah
Al-Mutawkil yang memerintah tahun (232-274 H/7847-861 M).
Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya banyak
persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. System
pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan
teologi Ahli Sunah dan dikenal dengan nama al-Maturidiah. Aliran teologi
Maturidi banyak dianut oleh umat Islam yang memakai madzhab Hanafi
(Sarkowi.2010:79-80).
Negeri Samarkand merupakan tempat diskusi dalam ilmu fiqh dan usul fiqh.
Ketika perselisihan antara fuqaha bersama muhadditsin dan Mu’tazilah
semakin sengit, diskusi berjalan di bidang ilmu kalam, fiqh dan usul
fiqh.Al-Maturidi hidup di tengah-tengah perlombaan yang berlangsung
ketat dalam rangka menghasilkan pemikiran dan penalaran. Ulama’ madzhab
Hanafi menetapkan bahwa kesimpulan yang dicapai oleh al-Maturidi
sepenuhnya sama dengan apa yang dikemukakan oleh Abu Hanifah dalam
bidang ‘aqidah (Zahrah. 1996: 207-208).
Abu Mansur Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand pada
pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan meninggal di tahun 994 M. tidak
banyak di ketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu
Hanifah dab paham-paham toeloginya banyak persamaan dengan paham-paham
yang di majukan abu Hanifah. System pemikiran teologi yang di timbulkan
Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan di kenal
dengan nama al-Maturidia (Harun.2010).
Sebagai pengikut Abu Hanifah yang kebanyakan menggunakan rasio dalam
pandangan keagamaannya, Al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam
system teologinya. Oleh karana itu, antara teologinya dan teologi yang
di timbulkan oleh Al-Asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya
timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah.
Dalam soal sifat-sifat tuhan terdapat persamaan antara Al-Asy’ari dan
Al-Maturidi. baginya Tuhan mempunyai sifat-sifat. makanya menurut
pendapatnya.,Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya melainkan dengan
perbuatan-Nya,dan berkuasa bukan dengan dzat-nya.
Tetapi dalam soal perbuatan-perbuatan manusia al-Maturidi sependapat
dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan
perbuatan-perbutannya. Denagn demikian ia mempunyai paham Qodariyah dan
bukan Jabariyah atau kasb Asy’ari. Sama dengan Al-Asy’ari, al-maturidi
menolak ajaran Mu’tazilah tentang al-salah wal al-aslah, tetapi
disamping itu Al-Maturidi berpendpat bahwa tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban tertentu. Al-Maturidi juga tidak sepaham dengan
Mu’tazilah tentang masalah Al-Qur’an yang menimbulkan heboh itu.
Sebagaiman Al-Asy’ari mengatakan baha kalam atau sabda Tuhan tidak
diciptakan, tetapi bersifat qodim.
Mengenai dosa besar Al-Maturidi sepaham dengan Al-Asy’ari bahwa orang
yang berdosa besar masih dalam keadaan mukmin, dan soal dosa besarnya
akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Ia pun menolak paham posisi
menengah Mu’tazilah. Tetapi dalam soal al-wa’du wal al-wa’id almaturidi
sepaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman tuhan, tak
boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan juga dalam soal Anthropomorphisme
Al-Maturidi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia tidak sependapat dengan
Al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang menggambar tuhan mempunyai bentuk
jasmani tak dapat diberi interprestasi atau ta’wil menurut pendapatnya
tangan, wajah, dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan
(Sarkowi. 2010: 82).
2. Doktrin-Doktrin Teologi Al-Maturidiyah
Abu Manshur dalam aliran al-maturidiyahnya menghasilkan beberapa doktrin
a. Akal dan wahyu
Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan
keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam teologinya.
Oleh karena itu diantara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh
al-Asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi
terhadap aliran Mu’tazilah (Sarkowi. 2010: 81).
Menurut pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qu’an dan
akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari . namun, porsi yang
diberikannya pada akal lebih besar daripada yang Diberikan oleh
Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengatakan Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan
dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal
tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar
manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanan
terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang
makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan untuk
memperoleh kemampuan tersebut, tentunya Allah tidak memerintahkan
manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal
untuk memperoleh iman dan kemampuan mengenai Allah berarti meninggalkan
kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut
Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik
dan buruknya sesuatu tersebut tergantung sesuatu tersebut itu sendiri.,
sedangkan perintah atau larangan Syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan
akal mengeni baik dan burukya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak
selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, namum terkadang
pula mampu sebagian baik dan buruknya. Dalam kondisi demikian, wahyu
diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan
petunjuk ajaran wahyu.
a.Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu dengan akal,
Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Haya saja bila Mu’tazilah
mengatakan bahwa perintah melakukan kebaikan dan memninggalkan keburukan
didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi mengatakan kewajiban
tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Dalam
persoalan ini, Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut
Al-Asy’ari , baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu
sendiri. Sesuatu itu dipandang baik karena perintah syara dan dipandang
buruk karena larangan syara. Jadi, yang baik itu baik karena perintah
Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini,
Al-Maturidi berada pada posisi tengah diantara Mu’tazilah dan
Al-Asy’ari.
b. Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi
perbuatan manusia adalah ciptaan tuhan karena segala
sesuatu dalam wujud ini tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan
berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya
dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi menentukan antara
ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta
perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan
manusia bebas menggunakannya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan
dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara
qudrat tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada
pada manusia. Kemudian, karena daya yang diciptakan dalam diri manusia
dan perbutaan manusia yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri
dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.
Berbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut
merupakan daya tuhan karena ia memandang bahwa perbuatan manusia adalah
perbuatan tuhan. Berbeda pula dengan mu’tazilah yang memandang daya
sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri
Dalam masalah pemakaian daya ini, Al-Maturidi membawa faham Abu Hanifah,
yaitu adanya masyiah (kehendak ) dan ridha (kerelaan).kebebasan manusia
dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak
tuhan, tetapi ia dapat memilih yang di ridhai-Nya atau yang tidak di
ridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan tuhan, dan
berbuat buruk juga dalam kehendak tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya.
Dengan demikian, berarti manusia dalam faham al-maturidi tidak sebebas
manusia dalam faham mu’tazilah.
c. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan bahwa perbuatan manusia dan segala seuatu dalm wujud
ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan tuhan. Akan tetapi,
pernyataan ini menurut al-maturidi bukan berarti bahwa tuhan berkendak
dengan sewenang-wenang serta kehendak-Nya semata. Hal ini karena qudrat
tuhan tidak sewenag-wenang ( absolute ), tetapi perbuatan dan
kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang
sudah ditetapkan-Nya sendiri.
d. Sifat tuhan
Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara al-Asy’ari dan
Maturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka menurut
pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan dzatnya, tetapi mengetahui
dengan pengetahuan Nya, dan berkuasa bukan dengan dzat-Nya (Sarkowi.
2010: 81).
Berkaitan dengan masalah sifat tuhan, terdapat persamaan antara
pemikiran Al-Maturidi dan Al-Asy’ari. Keduanya berpendapat bahwa tuhan
mempunyai sifat-sifat, seperti Sama’, Bashar, dan sebagainya. Walaupun
begitu , pengertian Al-Maturidi tentang sifat tuhan berbeda dengan
Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang
bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan
Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi
–Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya.Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah
(ada bersama,baca:inheren) dzat tanpa terpisah(innaha lam takun ain-dzat
wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus
membawanya pada pengertian anthropomorphisme karena sifat tidak berwujud
tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa
pada berbilangnya yang qodim ( taaddud al-qudama). Tampaknya paham
Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati faham
Mu’tazilah. Perbedaan keduaanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi
tentang adanya sifat-sifat tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya
sifat-sifat Tuhan.
e. Melihat Tuhan
Al-maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat tuhan. Hal ini
dibenarkan oleh Al-Quran antara lain firman allah dalam surat al-qiyamah
ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa tuhan kelak di akhirat dapat
dilihat dengan mata, karena tuhan mempunyai wujud walaupun immaterial.
Namum melihat tuhan , kelak diakhirat tidak dalam bentuknya ( bila kaifa
), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f. Kalam Tuhan
Al-maturidi membedakan antara kalam ( sabda ) yang tersusun dengan huruf
dan bersuara dengan kalam nafsi ( sabda yang sebenarnya atau makna
abstrak ). Kalam nafsi bersifat qodim bagi Allah, sedangkan kalam yang
tersusun dari huruf dan suara adalah baharu ( hadis ). Al-quran dalam
artian kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (
hadis ). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana
Allah bersifat dengannya ( bila kaifa ) tidak dapat diketahui, kecuali
dengan suatu perantara.
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Quran sebagai yang tersusun
dari huuruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya dari
segi abstrak. Kalam allah menurut Mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya
dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-Quran sebagai sabda tuhan bukan sifat,
tetapi perbuatan yang diciptakan tuhan dan tidak bersifat kekal.
Pendapat ini diterima Al-Maturidi, hanya Al-Maturidi lebih suka
menggunakan istilah hadis sebagai pengganti mahluk untuk sebutan
Al-Quran. Dalam konteks ini pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan
dengan pendapat Al-Maturidi , karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan
sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut
Al-Maturidi dan itu memang sifat kekal tuhan.
g. Perbuatan Tuhan
Menurut Al-Maturidi,
tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini,
kecuali semua atas kehendak tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau
membatasi kehendak tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang
ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wajib
berbuat ash-sholah wa al-ashlah ( yang baik dan terbaik bagi manusia ).
Setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepada manusia adalah tidak lepas dari hikmah dan
keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
1. Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia
diluar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan,
dan manusia diberi kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan
perbuatannya.
2. Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan
keadilan yang sudah ditetapkan-Nya
h. Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada
manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban
yang lainnya dari syariat yang dibebankannya kepada manusia. Oleh karena
itu, menurut Al-Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul
berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang
diajarkan Rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang diluar
kemampuannya kepada akalnya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah
yang berpendapat pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah
kewajiban tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam
kehidupannya.
i. Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Mengenai soal dosa besar al-Maturidi sefaham dengan al-Asy’ari yaitu:
orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan
ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Ia pun menolak faham posisi menengah
kaum Mu’tazilah.
Tetapi tentang al-wa’ad wa al-wa’id Al-Maturidi sefaham dengan
Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh tidak
terjadi kelak. dan juga dalam soal anthropomorphisme atau paham jisim
pada Tuhan. Al-Maturidi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia tidak sependapat
dengan al-Asy’ariyah bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai
bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi atau ta’wil.menurut
pendapatnya tangan, wajah dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau
kiasan (Sarkowi. 2010: 82).
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan
juga tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal
ini karena tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada
manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan
untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, bebuat dosa
besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal didalam
neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah
menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut al-maturidi, iman itu
cukup dengan Tashdiq dan Iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan
iman, kecuali tidak akan menambah atau mengurangi esensi islam, kecuali
hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.
3 Aliran
Al-Maturidiah merupakan salah satu sekte Ahlu al-Sunnah wal al-Jama’ah,
yang tampil bersama dengan al-Asy’ariah. Asy’ariyah dan Maturidiah
dilahirkan oleh kondisi social dan pemikiran yang sama. Kedua aliran ini
datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk
menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis dimana yang berada
dibarisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum
tekstualis dimana yang berada dibarisan paling depan adalah Hanabilah
(para pengikut Ibnu Hambal). Kedua aliran ekstrim berusaha mengambil
sikap tengah diantara kedua aliran ekstrim itu. Membanyakan banyak sendi
dan sarana bagi sifat mengambil jalan tengah ini. Keduanya berbeda
pendapat hanya dalam hal yang menyangkut masalah cabang dan detailitas.
orang2 Hanafiah membentengi aliran Maturidiah dan mereka kaitkan
akarnya sampai pada Abu Hanifah sendiri. Sementara itu para pengikut
imam al-Syafi’i dan imam al-Maliki mendukung kaum Asy’ariah dan mereka
berjuang keras untuk menyebarkannya sehingga aliran ini bisa meluas ke
Andalusia dan Afrika Utara (Madkour. 2004: 81).
Tidak di ragukan, mereka telah berusaha keras untuk memantapkan ‘aqidah
yang terkandung dalam alqur’an dengan penalaran dan dalil logika. Hanya
saja, salah seorang dari mereka memberikan suatu otoritas yang lebih
besar kepada akal dari pada lain.Asy’ariyah tidak mengakui adanya
sesuatu yang dinilai sebagai baik baerdasarkan syara’, sedangkan
maturidiyyah sesua dengan metode Abu Hanifah, menganggap kewajiban
ma’rifah dapat dijangkau oleh akal. Asy’ariyah tidak mengakui adanya
sesuatu yang dinilai sebagai baik berdasarkan substansinya karena
penilaian akal, tanpa adanya intruksi dari syara’, sementara
Maturidiyyah mengakui bahwa sesuatu dapat dinilai baik berdasarkan
substansinya, dan hal itu dapat dijangkau oleh akal manusia (Zahrah.
1996: 210).
4. Kesimpulan
Al-Ay’ari sebagai pendiri aliran Asy’ariyah nama lengkapnya Abdul Hasan
bin Ismail al Asy’ari lahir di Basrah (Iraq) pada tahun 260 H/873 M,
wafat tahun 324 H/935 M. Ia selain sebagai seorang pendiri aliran
Asy’ariyah juga dikenal sebagai orang yang mempunyai komulatif keilmuan
yang sangat luas, pandai berdebat, shalih dan taqwa, sehingga dalam
waktu singkat mendapat kepercayaan dari kaum muslimin.
Al Asy’ari ketika kira-kira usia 10 tahun sampai 40 tahun berguru kepada
seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Jubba’i. Karena itu pada mulanya
al Asy’ari adalah pengikut Mu’tazilah yang setia, tetapi oleh sebab
tidak jelas al Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut faham
Mu’tazilah pada akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Karena merasa
tidak puas terhadap konsepsi aliran Mu’tazilah dalam soal “al salah wa
al aslah”dalam arti Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan terbaik
untuk kemaslahatan manusia.
Abu Manshur Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidi dilahirkan
di Maturid, sebuah kota kecil yang ada di Samarkand, wilayah Trmsoxiana
di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun
kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitara
pertengahan Abad ke-3 H atau Abad ke-9 M dan ia wafat pada tahun 333 H
atau 944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi Nasyr Bin Yahya
Al-Balakhi (w. 268 H ). Al-Maturidi hidup pada masa khalifah
Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274 H atau 847-861 M.
Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak
persamaan dengan paham-paham yang dimajukan oleh Abu Hanifah. System
pemikiran teologinya yang di timbulkan Abu Manshur termasuk dalam
golongan ahli sunnah dan dikenal dengan sebutan Al-Maturidiah.
Doktrin-doktrin yang dikemukankanya:
a) Akal dan wahyu
b) Perbuatan manusia
c) Kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan
d) Sifat tuhan
e) Melihat Tuhan
f) Kalam Tuhan
g) Perbutan Manusia
h) Pengutusan Rasul
i) Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar